BATIK DALAM BUDAYA JAWA
I. PENGANTAR
Bangsa Indonesia merupakan
salah satu bangsa yang kaya akan budaya. Tiap- tiap daerah memiliki karya seni yang
berbeda. Salah satu karya seni yang terkenal dan menjadi kebanggaan bangsa
Indonesia adalah batik[1].
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian
dari budaya Indonesia (khususnya jawa) sejak lama.
Batik merupakan warisan
leluhur yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia. Keindahan motif dan
corak batik, serta pembuatannya yang sangat khas, membuat karya seni ini
semakin populer baik untuk masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia. Batik
yang awalnya hanya dipakai oleh kalangan kerajaan, kini sudah dipakai banyak
orang dan digunakan pada lambang-lambang institusi pemerintahan. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.
II. SEKILAS PANDANG TENTANG
ORANG JAWA
Orang Jawa dianggap keturunan dari orang-orang Melayu.[2]
Orang-orang melayu bermata pencaharian sebagai petani untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka sudah mengenal persawahan dan tetap bertahan sampai
sekarang. Dahulu masyarakat Jawa banyak tinggal di desa. Desa tersebut diketuai
oleh seorang kepala desa (pamong). Keagamaan orang-orang desa (Jawa) percaya
bahwa apa saja (batu, pohon, dsb) memiliki jiwa dan kekuatan-kekuatan. Kepercayaan asli orang Jawa adalah
kejawen (percaya akan adanya roh-roh
dalam benda-benda yang dianggap sakral).
Pulau Jawa merupakan salah
satu dari kepulauan Indonesia. Masyarakat jawa tidak lepas dari pengelompokan
etnis. Pengelompokan orang
jawa dibagi menjadi dua yaitu Priyayi
dan Wong Cilik.[3]
Kaum Priyayi mayoritas berada di
kalangan atas, hidup yang serba kecukupan dan mempunyai lapangan pekerjaan yang
cukup mapan. Pekerjaan yang digeluti oleh kaum Priyayi ini cukup bervariasi dan tidak jarang mereka menjadi
seorang pemimpin desa.
Wong cilik (orang
kecil) merupakan kelompok masyarakat jawa yang hidup di kalangan menengah ke bawah. Cara hidup mereka
sungguh berbeda dengan cara hidup kaum Priyayi. Cara hidup yang sederhana lebih
menonjol dalam kehidupan kelompok wong cilik ini. Kelompok ini banyak berkecimpung dalam bidang pertanian dan
buruh. Pemasukan yang didapat oleh wong
cilik ini tergolong
rendah.
Ada pula kelompok orang jawa
yang paling tinggi tingkatannya yaitu kaum ningrat. Kaum ningrat ini sering
disebut ndara. Gaya hidup kaum
ningrat sama dengan gaya hidup kaum priyayi. Namun mereka sedikit lebih tinggi.
Orang Jawa tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Orang Jawa mayoritas
berasal dari pulau Jawa.
III. LATAR BELAKANG SEJARAH
Kesenian batik
merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat
dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Jenis dan corak batik
tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan
filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Beberapa motif
batik dapat juga menunjukkan status seseorang.
Batik secara
historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang
ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih
didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Kesenian batik mulai meluas dan menjadi
milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa setelah akhir abad ke-XVIII atau
awal abad ke-XIX. Bahan kain putih yang dipergunakan adalah hasil tenunan
sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan
asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi,
soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari
tanah lumpur. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad
ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia pertama atau sekitar
tahun 1920.[4]
Dalam
sejarah perkembangannya, corak-corak lukisan binatang dan tanaman pada batik,
lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi,
wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan
dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal
sekarang ini.
Pemakaian busana batik dalam
tradisi Jawa memiliki dua fungsi yaitu fungsi religius dan fungsi sosial.
Sebagai fungsi religius Batik merupakan busana resmi keagamaan. Upacara
keagamaan kesultanan menampilkan para sultan sebagai sosok pemimpin agama
sekaligus menampilkan fungsi batik sebagai pakaian keagamaan, misalnya dalam
upacara grebeg[5].
Selain berfungsi sebagai pakaian religius, batik juga memiliki fungsi sosial
sebagaimana terdapat dalam acara tradisional. Batik menampilkan nilai
penghormatan terhadap orang lain. Nilai penghormatan ini ditampilkan dalam
busana keprabon (kraton) yang dikenakan sultan saat menerima tamu yang
kedudukannya sama atau lebih tinggi. Dalam upacara-upacara lingkup kraton,
batik menjadi pakaian yang resmi bagi para tamu dan tuan rumah.
Seni Batik tetap
hidup subur di Indonesia dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat. Bila kita
bandingkan batik yang kita kenal sekarang dengan batik puluhan tahun yang
silam, tidak begitu banyak perubahan; baik bahan, cara maupun coraknya. Sifat
inilah yang menyebabkan seni batik mudah dipelajari, dari generasi ke generasi.
Membatik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk
pakaian keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam
kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya.
Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh
rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam
rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya
hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari,
baik wanita maupun pria. Batik
tulis merupakan jenis batik yang dibuat dengan menggunakan ketrampilan tangan.
Batik tulis dikerjakan oleh orang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi dan
biasanya pembatik memiliki keinginan memelihara batik agar tetap eksis. Batik
tulis mampu bertahan dan tetap terpelihara hingga sekarang karena proses
pengerjaannya yang tidak sederhana dan pembatik sendiri tetap memperhatikan
kualitas batik itu. Bahan-bahan yang digunakan pun masih alami. Inilah sebabnya
batik tulis tetap terpelihara dan mampu bersaing dalam pasar.
Batik tulis berbeda dengan
batik cap yang muncul kemudian setelah batik tulis. Batik tulis lahir seiring
dengan perkembangan zaman. Proses pembuatannya pun tidak lagi menggunakan
alat-alat tradisional. Bila dibandingkan dengan batik tulis, pengerjaan batik
cap jauh lebih cepat dan bahan-bahan yang digunakan pun sebagian besar tidak
menggunakan bahan alami lagi. Walaupun demikian, keberadaan batik cap tidak
menggugurkan keberadaan batik tulis dalam pasar. Kedua jenis batik ini tetap
diminati, walaupun batik cap lebih dikenal jauh ekonomis dibandingkan dengan
batik tulis. Kedua jenis batik ini tetap dikenal masyarakat Indonesia bahkan
internasional.
Pada dasarnya batik tetap
terpelihara karena melalui proses turun-menurun, misalnya seperti ibu kepada
anaknya. Sekarang batik mulai banyak diperkenalkan, baik masyarakat Indonesia
secara khusus maupun masyarakat luar (bangsa asing) secara umum. Dengan
demikian batik tidak hanya dikenal dalam negeri saja, tetapi meluas sampai ke
luar negeri.
IV. ISI
A.
Cara Membuat Batik
Cita rasa, kehendak (itikad
yang baik) serta kemampuan akal (intelektual) yang tinggi terkandung dalam
proses pembuatan batik.[6]
Dalam proses pembuatannya, dibagi menjadi dua yaitu:
Dilihat
dari cara kerja pembuatannya, batik dapat digolongkan sebagai pekerjaan yang
tradisional. Alat-alat yang digunakan untuk membatik pun masih
tradisional. Sejak awal, peralatan yang digunakan untuk membatik, belum
mengalami banyak perubahan. Bahan-bahan yang digunakan itu antara lain:
a. Gawang
Gawangan adalah perkakas untuk menyangkutkan dan
membentangkan mori, saat mori itu dibatik. Gawangan terbuat dari kayu, atau
bambu. Gawangan harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dipindah-pindah,
tetapi harus kuat dan ringan.
b.
Bandul
Bandul terbuat dari timah, kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul adalah untuk menahan mori yang baru dibatik, agar tidak mudah tergesar tertiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak sengaja.
Bandul terbuat dari timah, kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul adalah untuk menahan mori yang baru dibatik, agar tidak mudah tergesar tertiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak sengaja.
c.
Wajan
(kuali)
Wajan ialah
perkakas untuk mencairkan “malam”. Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai
supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa menggunakan alat lain.
d.
Kompor
Kompor adalah
alat untuk membuat api. Kompor yang biasa digunakan adalah kompor dengan bahan
bakar minyak.
e.
Taplak
Taplak ialah
kain untuk menutup paha si pembantik supaya tidak terkena tetesan “malam” panas
sewaktu canting ditiup, atau waktu membatik.
f. Saringan “malam”
Saringan ialah
alat untuk menyaring “malam” panas yang banyak kotorannya. Jika “malam”
disaring, maka kotoran dapat dibuang sehingga tidak mengganggu jalannya “malam”
pada cucuk canting sewaktu dipergunakan untuk membatik.
g. Canting
Canting adalah alat yang
digunakan untuk memindahkan atau mengambil cairan.
Canting untuk membatik adalah alat kecil yang terbuat dari tembaga dan bambu
sebagai pegangannya. Canting ini digunakan untuk menuliskan pola batik
dengan cairan lilin. Sebelum bahan plastik
banyak digunakan sebagai perlengkapan rumah tangga, canting yang terbuat dari tempurung kelapa
banyak dipakai sebagai salah satu perlengkapan dapur sebagai gayung. Dewasa
ini canting tempurung kelapa sudah jarang terlihat lagi karena digantikan bahan
lain seperti plastik.
h. Mori
Mori adalah
bahan baku batik dari katun. Kain mori memiliki kualitas yang bermacam-macam,
dan jenisnya sangat menentukan kualitas kain batik yang dihasilkan. Mori yang dibutuhkan sesuai dengan panjang
pendeknya kain yang dikehendaki. Ukuran panjang pendeknya mori biasanya tidak
menurut standar yang pasti, tetapi dengan ukuran tradisional. Ukuran tradisional
tersebut dinamakan “kacu”. Kacu ialah sapu tangan, biasanya berbentuk bujur
sangkar. Maka yang disebut “sekacu” ialah ukuran perseginya mori, diambil dari
ukuran lebar mori tersebut. Jadi panjang sekacu dari suatu jenis mori akan
berbeda dengan panjang sekacu dari mori jenis lain.
i. Lilin (“Malam”)
Lilin atau
“malam” ialah bahan yang digunakan untuk membatik. Sebenarnya “malam” tidak
habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali pada proses pengerokan, proses
pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain. “Malam” yang dipergunakan
untuk membatik berbeda dengan malam atau lilin biasa. Malam untuk membatik
bersifat cepat menyerap pada kain tetapi dapat dengan mudah lepas ketika proses
pengerokan.
j. Pola
Pola ialah
suatu motif batik dalam mori ukuran tertentu sebagai contoh motif batik yang
akan dibuat.Ukuran pola ada
dua macam. Pola A ialah pola yang panjangnya selebar mori. Pola B ialah pola
yang panjangnya sepertiga mori, atau sepertiga panjang pola A. jika pola A 1/4
kacu, pola B 1/12 kacu; Pola A 1/2 kacu, pola B 1/6 kacu. Yang dimaksud pola
1/4, 1/2 atau 1/3 kacu ialah lebar pola 1/4, 1/2, atau 1/3 ukuran sebuah sisi
sekacu mori. Tetapi ukuran pola A dan B sering tidak seperti yang dikatakan di
atas, karena masing-masing tidak digunakan dalam selembar mori, atau karena
ukuran lebar mori tidak selalu sama.
2.
Proses pengolahan kain dan pembatikan
Cara pemberian warna pada batik sudah terkenal
sejak abad ke-8.[8] Sebelum mulai membatik, kain yang akan
digunakan untuk membatik perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan kain utuk
membatik ada beberapa langkah. Langkah-langkah itu antara lain[9]:
- Pencucian
Kain mori yang akan digunakan untuk membatik dicuci terlebih dahulu.
Pencucian kain mori ini bertujuan untuk membersihkan kain dari kotoran-kotoran
yang menempel di kain mori. Selain itu pencucian kain mori juga bertujuan untuk
menghilangkan bahan yang membuat kain menjadi kaku.
Air yang digunakan untuk mencuci kain mori ini adalah air bersih.
Kemudian kain yang telah dicuci, dibilas berulang-ulang kali. Kain yang sudah
bersih, kemudian dilakukan proses berikutnya yaitu penganjian.
- Pengkanjian
Kain yang sudah bersih
dimasukkan dalam sebuah larutan kanji. Proses pelarutan kanji harus dilakukan
dengan hati-hati. Larutan kanji tidak terlalu pekat dan juga tidak terlalu
encer. Larutan kanji yang terlalu pekat akan mengakibatkan bahan untuk membuat
gambar pada batik, sukar untuk menempel di kain. Namun apabila larutan kanji
terlalu encer maka akan mengakibatkan gambar menjadi pecah dan memudar. Proses
pengkanjian berguna untuk membuat kain menjadi lebih kaku dan mempermudah
proses penggambaran motif batik.
- Pengemplongan
Kain yang telah kering tadi kemudian digulung, ditempatkan di atas kayu
yang halus, panjangnya kira-kira 1 meter dan kain tersebut dipukul-pukul dengan
menggunakan palu atau kayu. Agar
kain tersebut tidak kotor, sebaiknya dibungkus dengan kain putih. Kain itu
dipukul-pukul hingga terasa halus, dan tidak boleh disetrika, sebab kain yang
disetrika akan tertarik dan akan merusak batikan kita.
- Penglowongan
Proses selanjutnya adalah membuat motif dasar dari gambaran batik. Ada dua cara untuk
menggambar motif dasar batik yaitu dengan menggunakan canting atau cap batik. Motif yang digambar sesuai dengan yang
dikehendaki. Penggambaran ini dapat pula menggunakan pensil.[10]
- Pembatikan
Cairan untuk membatik didapat
dari malam yang telah dipanaskan. Malam yang telah dipersiapkan kemudian
dipanaskan dengan memasaknya di atas kuali. Malam yang telah mencair diambil
sedikit demi sedikit dengan menggunakan canting.[11]
- Penembokan
Dalam membatik terkadang kita
menggunakan warna putih atau warna yang sama dengan kain dasar. Penembokan
merupakan proses untuk memblok bagian kain yang nantinya akan berwarna putih.
Pemblokan ini menggunakan malam khusus, agar pewarna di sekitarnya tidak
merembes ke bagian kain yang ingin diberi warna putih. Apabila proses
penembokan ini kurang cermat atau bahan yang digunakan untuk penembokan kurang
baik maka kain itu akan menjadi kotor dan kurang rapi. Bahan untuk menembok
berasal dari pecahan dari lilin yang agak mengeras. Pekerjaan ini tidak hanya di bagian luar tetapi juga
dikerjakan di sisi dalam kain pada batik yang halus.
- Pemedelan
Pemedelan merupakan salah satu proses untuk mewarnai kain yang telah
diberi motif dasar. Proses pewarnaan pada batik masih menggunakan bahan yang
daimbil dari alam (alami), misalnya: nabati, tumbuh-tumbuhan, akar dan lain
sebagainya.[12] Untuk mendapat hasil yang memuaskan
pemberian ini harus merata. Zat wedal ini cukup lama meresap dalam kain
mori. Maka pekerjaan ini harus dilakukan berulang-ulang kali.
Masing-masing tukang celup atau pengusaha batik mempunyai rahasia
ramuannya sendiri-sendiri yang diwariskan turun-temurun. Berbagai bahan
dimasukkan ke dalam jambangan celup untuk menambah proses ‘peragian’ (seperti :
gula kelapa, tapai, pisang kelutuk, sampai dengan potongan-potongan daging
ayam). Semuanya untuk menambah sinar
serta gemilangnya warna biru nila yang sampai sekarang belum terkalahkan
indahnya. Sekarang ini, sebagai akibat pemakaian zat warna kimia, sifat misterius
serta romantika pencelupan telah banyak hilang. Mencelup dengan naphtol atau
obat anthrasol memakan waktu hanya sebentar saja tanpa adanya
sifat-sifat khas. Oleh karena itulah, proses batik tradisional masih sepenuhnya
dikerjakan dengan tangan.[13]
Di zaman yang lebih modern ini,
zat pewarna yang digunakan adalah zat pewarna sintetis. Dengan zat ini, proses
pemendelan menjadi lebih mudah. Warna biru yang digunakan pun banyak pilihan.
Selain itu dengan zat ini proses pemendelan menjadi lebih cepat. Zat ini
mempunyai kelemahan. Kelemahan dari zat sintetis ini adalah tidak tahan
lama.
- Pengerokan
Pengerokan merupakan proses
membuang bagian-bagian malam batik yang menempel pada kain mori, setelah proses
pemendelan. Motif batik yang ingin diberi warna coklat hendaknya dikerok
terlebih dahulu. Pengerokan ini hanya menggunakan alat yang sederhana yaitu
pisau. Dalam hal ini seorang pengerok harus bekerja dengan teliti, baik bagian yang
dikerok maupun yang tidak di kerok. Hal ini dilakukan agar motif tidak menjadi
rusak atu tidak sesuai.
- Penyogaan
Dalam pembuatan batik, orang
sering menggunakan warna coklat. Pewarna coklat berasal dari ramuan kulit pohon soga. Kulit pohon
ini direbus dan airnya digunakan untuk pewarna batik. Cairan ini lambat untuk
meresap sehingga harus dilakukan secara berulang-ulang. Proses pemberian
warna coklat sangatlah lama.
- Pengelorodan
Pengelorodan merupakan proses pelepasan
malam batik, yang digunakan untuk menembok, yang menempel pada kain. Cara
pengelorodan adalah dengan merendam kain batik pada air mendidih. Selain itu
kain batik juga digosok-gosok dengan menggunakan kayu agar tidak terlalu panas.
B.
MAKNA SIMBOLIS BATIK DALAM BUDAYA JAWA
Kain
batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang sangat berharga.
Batik merupakan karya seni yang bernilai tinggi dan memiliki banyak makna di
dalam setiap gambarnya. Ada
banyak motif batik warisan leluhur dengan sejuta arti, nilai filosofis dan
pengharapan di dalamnya. Sehelai kain batik dapat mengungkapkan status sosial,
lingkungan dimana berasal, sejarah budaya. Batik tidak hanya menampilkan
keindahan bentuk secara kasat mata melainkan juga menyimpan kedalaman spiritual
yang dipancarkan melalui motif-motifnya yang “sakral”.[14]
Salah satu motif yang populer
adalah parang. Ada berbagai jenis parang dan masing masing memiliki arti yang
berbeda-beda. Parang merupakan simbol dari ombak samudera yang menggambarkan
semangat dan energi yang tiada henti, motif ini hanya boleh dikenakan untuk
kasta prajurit dan adipati keatas.
Motif Parang Rusak[15]
diciptakan oleh Panembahan Senopati, ia adalah pendiri Kerajaan Mataram.
Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Panembahan Senopati
sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh
jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing)
berbaris. Hingga pada akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan sebutan pereng
yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut
ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena
deburan ombak Laut Selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif
batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.
Motif Parang Rusak Barong
diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan
pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas, kewajibannya, dan
kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta.
Kata “barong” berarti sesuatu yang besar dan hal ini tercermin pada besarnya
ukuran motif tersebut.
Pola Barong pada jaman dahulu
hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Motif Parang Barong mempunyai makna
agar seorang raja selalu behati-hati dan dapat mengendalikan diri. Motif parang
sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang
Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah.
Karena penciptanya merupakan pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh kerajaan,
motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan
keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu
kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”. Bila dilihat secara
mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak
lautan yang menjadi pusat energi alam.
Komposisi miring pada parang
juga melambangkan kewibawaan, keagungan, kekuasaan, dan gerak cepat sehingga
pemakainya diharapkan sigap dalam melakukan tugas dan pekerjaannya. Motif
Parang sesungguhnya menggambarkan kekuasaan dan senjata. Selaras dengan makna
yang ada dalam motif Parang Barong, maka Ksatria yang menggunakan batik ini
bisa memiliki tenaga yang berlipat ganda.
Kain batik yang digunakan dalam upacara pernikahan
adat Jawa saat ini, seperti motif kain batik: Ukel, Semen Rama, Semen Raja.
Motif-motif ini pada awalnya hanya dikenakan oleh keluarga kesultanan dan
digunakan dalam kesempatan tertentu saja. Dalam perkembangan selanjutnya
pembatasan itu menjadi pudar. Banyak dari keluarga orang yang bersetatus tinggi
dan orang kaya di Indonesia juga ingin meniru apa yang terjadi dalam keluarga
kesultanan.
Pembatasan yang pada awalnya
begitu ketat, tidak dapat mengatasi masuknya pengaruh luar yang begitu gencar.
Seperti dapat kita lihat saat ini, banyak upacara pernikahan adat Jawa
dalam masyarakat Indonesia menggunakan upacara pernikahan adat
keraton dengan perlengkapan dan tahapan upacara yang cukup lengkap.
Bahkan beberapa motif batik tradisional yang biasanya hanya dipakai oleh
keluarga keraton baik dari keraton Yogyakarta maupun dari keraton
Surakarta lambat laun juga sudah mulai bisa dimiliki oleh setiap orang yang
ingin memilikinya.[16]
C. FILOSOFI BATIK
Tradisi Kejawen yang
mengajarkan falsafah Jawa juga turut memberikan banyak masukan dalam
penciptaan motif-motif batik. Falsafah Jawa juga berfungsi untuk meraih
kebesaran dan kemuliaan dalam hidup ini, juga dapat digunakan untuk mempermudah
penciptaan motif kain batik. Hal ini bisa dimengerti karena untuk mencapai
kebesaran dan kemuliaan yang selalu dirindukan oleh manusia, orang percaya
bahwa hal ini akan bisa dicapai dengan mengolah jati diri. Misalnya
melalui jalan meditasi dan upacara mistik (bertapa). Makna meditasi yang bisa
dipetik adalah dapat dicapainya ketentraman batin dan kedamaian hati
seseorang serta keheningan suasana di sekitarnya. Semuanya itu merupakan
sikap yang tepat dalam pemilihan dan penciptaan suatu motif batik.
Agar motif batik sesuai dengan
makna yang diharapkan oleh pemikinya, terkadang disertai upacara mistik.
Upacara ini bisa dilakukan misalnya dengan pemanjatan doa. Ritual ini biasanya
dilakukan dengan bimbingan para “Guru” dalam bidang Kejawen, sehingga nilai
sakral dan magis bisa tersirat dalam motif yang ada dan terlihat ketika
dikenakan oleh pemiliknya. Berapa lama dan perbuatan mana yang harus dikerjakan
seseorang sebelum ditemukan motifnya, sangat bergantung pada pembatik dan calon
pemakainya sendiri. Jadi
dalam hal ini setidaknya harus ada kerja sama di antara keduanya. Tentang peran
pembatik biasanya menjadi semakin menyatu dengan perasaan dan harapan
pemakainya dan hal ini diwujudkan dalam bentuk atau lukisan motif dalam batik
itu.
Patron motif batik klasik pada
awalnya hanya ada dalam pikiran pembatik. Motif-motif dalam batik klasik
sering kali diungkapkan dalam bentuk yang abstrak. Daya khayal pembatik dalam
menggambarkan sebuah motif sangat mempengaruhi hasil akhir motif. Karena itu pula maka hampir tidak pernah
terjadi ada dua kain panjang batik dengan satu motif batik,
yang hasilnya sama dan serupa. Warna dalam motif batik banyak mengacu pada
warna yang bisa memberikan atau menimbulkan informasi berbagai rasa bagi
pemakainya dan yang melihatnya. Warna dasar motif batik klasik Jawa pada
awalnya dapat kita temukan sebagai berikut:
1.
Motif
batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna
semi atau tumbuh sebagai lambang kemakmuran, kesuburan, dan alam semesta.
2.
Motif
Udan Liris[17]
termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis
miring diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.
Secara keseluruhan, motif yang juga tersusun dari motif Banji, Setengah Kawung,
Lidah Api, Sawut, Tritis, Mlinjon, dan Untu Walang yang diatur diagonal
memanjang mempunyai makna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera,
tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan
bangsa.
3.
Motif
Cemungkiran yang berbentuk seperti lidah api dan sinar merupakan unsur
kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi, kehebatan, dan
keagungan yang diibaratkan seperti Dewa Syiwa yang dalam masyaraka Jawa
dipercaya menjelma dalam diri seorang raja sehingga hanya berhak dipakai oleh
raja dan putra mahkota.
4.
Wahyu
Tumurun secara harafiah berarti “berkat Ilahi”. Motif ini adalah simbol
kerinduan abadi manusia untuk berkat Allah dan pencerahan.[18] Kain Batik Wahyu Tumurun, kain batik ini sering pula dipilih sebagai busana pada upacara
pernikahan adat Jawa Gaya Yogyakarta.[19] Wahyu Temurun merupakan kain batik yang di dalamnya terdiri dari motif utamanya
adalah termasuk motif semen.
Dari arti katanya, wahyu memiliki pengertian sebagai kebahagiaan
anugrah Tuhan (Jawa: pulung nugrahaning Allah), yaitu anugrah yang
dapat berupa pangkat, derajat, kedudukan, keuntungan, dan lain-lain kemuliaan
yang menjadi bagian dari sumber kebahagiaan umat manusia. Wahyu Temurun
sebagai kain batik yang dipergunakan dalam pernikahan memberikan makna dan
harapan agar pemakai mendapatkan anugerah kebahagiaan dari Sang Maha Pencipta
dikemudian hari.
5.
Motif
Lereng mempunyai simbol hujan gerimis. Dalam kosmologi Jawa hujan dikaitkan
dengan kesuburan dan kekayaan yang melimpah.[20]
6.
Motif
Madu Bronto menyimbolkan
seseorang yang sedang kasmaran. Batik Madu Bronto dulu dikenakan oleh pria
yang mau kencan atau bertandang ke tempat pacarnya. Jadi ketika orangtua
perempuan melihat bajunya, mereka langsung tahu apa tujuan kedatangan pria
tersebut. Motif ini juga sering dikenakan saat acara lamaran, atau pada
sarasehan calon mempelai pria. Madu berarti manis, sedangkan Bronto berarti
tarung. Jika digabungkan mengandung arti bertarung dalam manis
D. MAKNA WARNA PADA KAIN BATIK[21]
Warna dalam batik
pada awalnya memiliki nilai yang simbolik. Pemilihan warna dalam motif batik
dapat memberikan informasi tentang perasaan dan harapan pemakainya,
karena dia yang memilih motif dan warnanya.
- Warna coklat melambangkan kerendahan hati, kesederhanan dan kehangatan bagi pemakainya.
- Warna biru tua melambangkan rasa ketenangan, kelembutan, keikhlasan dan rasa kesetiaan. Warna biru biasanya dapat kita temukan dalam motif batik klasik dari Yogyakarta.
- Warna putih melambangkan rasa ketidakbersalahan, kesucian, ketentraman hati dan keberanian serta sifat pemaaf pemakainya.
E. MAKNA BATIK DALAM UPACARA-UPACARA YANG
BERKAITAN DENGAN DAUR HIDUP MANUSIA.
1. Batik dalam Upacara Mitoni[22]
Disaat usia kehamilan pertama
seorang ibu sudah berusia tujuh bulan, diadakan upacara mitoni dengan harapan
agar sang bayi nantinya lahir dengan selamat, lancar dan dalam tumbuh
kembangnya menjadi manusia yang baik, berbudi luhur dan bertakwa kepada Tuhan YME,
bermanfaat bagi sesama dan alam lingkungannya. Batik yang digunakan dalam
acara mitoni antara lain batik sidomukti, sida asih, sida luhur, sida mulya,
sida Batik untuk Kopohan, Gendongan, Emban-emban. Motif-motif batik dalam upacara mitoni antara lain:
a. Motif Truntum
Motif Truntum mengandung makna tumbuh dan berkembang.
Demikianlah, orang Jawa selalu mendambakan bagi setiap keluarga baru supaya
segera mempunyai keturunan yang akan dapat menggantikan generasi sebelumnya.
Generasi baru itulah yang akan menjadi tumpuan setiap keluarga baru yang baru
menikah untuk meneruskan segala harapan dan cita-cita keluarga sekaligus
sebagai generasi penerus secara biologis yang mewarisi sifat-sifat keturunan
dari sebuah keluarga baru. Harapan itu selalu muncul saat keluarga baru
terbentuk. Sebab memang dari keluarga baru itulah diharapkan akan berkembang
keluarga-keluarga baru lainnya. Sementara sumber lain mengatakan bahwa motif
truntum ini awal mulanya diciptakan oleh kerabat kerajaan Surakarta yang sedang
sedih hatinya karena merasa diabaikan oleh raja. Di tengah kesendirian itulah ia melihat di langit
di tengah malam banyak bintang gemerlap menemani dirinya dalam kesepian. Insipirasi
itulah yang ditangkap dan dituangkan dalam motif batik.
b. Motif
Sidaluhur
Motif Sidaluhur mengandung makna keluhuran. Bagi orang
Jawa, hidup memang untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran
materi artinya bisa tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan bekerja keras
sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat, maupun profesinya. Keluhuran materi
yang diperoleh dengan cara yang benar, halal, dan sah tanpa melakukan
kecurangan atau perbuatan yang tercela seperti korupsi, merampok, mencuri, dan
sebagainya. Sebab walaupun secara materi merasa cukup atau bahkan berlebihan,
namun jika harta materi itu diperoleh secara tidak benar, tidak halal, itu
tidak bisa dikatakan bisa mencapai keluhuran secara materi. Keluhuran materi
akan lebih bermakna lagi apabila harta yang dimiliki itu bermanfaat bagi orang
lain dan bisa diberikan dalam berbagai bentuk seperti sumbangan, donasi, hibah,
dan sebagainya. Sementara keluhuran budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk
keluhuran non materi. Orang yang bisa dipercaya oleh orang lain, atau
perkataannya sangat bermanfaat kepada orang lain tentu itu akan lebih baik
daripada perkataannya tidak bisa dipegang orang lain dan tidak dipercaya orang
lain. Orang yang sudah bisa dipercaya oleh orang lain adalah suatu bentuk
keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap hidupnya kelak dapat mencapai
hidup yang penuh dengan nilai keluhuran
c. Motif Sidamukti.
Motif Sidamukti mengandung makna kemakmuran. Demikianlah bagi orang Jawa, ahidup
yang didambakan selain keluhuran budi, ucapan, dan tindakan, tentu agar hidup
akhirnya dapat mencapai mukti atau makmur baik di dunia maupun di akhirat.
Orang hidup di dunia adalah mencari kemakmuran dan ketentraman lahir dan batin.
Untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman itu niscaya akan tercapai jika tanpa
usaha dan kerja keras, keluhuran budi, ucapan, dan tindakan. Namun untuk
mencapai itu semua tentu tidaklah mudah. Setiap orang harus bisa mengendalikan
hawa nafsu, mengurangi kesenangan, menggunjing tetangga, berbuat baik tanpa
merugikan orang lain, dan sebagainya, agar dirinya merasa makmur lahir batin.
Kehidupan untuk mencapai kemakmuran lahir dan batin itulah yang juga menjadi
salah satu dambaan masyarakat Jawa dan tentu juga secara universal.
2. Batik untuk
Kopohan, Gendongan, Emban-emban
Kopohan berasal dari kata kopoh yang berarti basah kuyub. batik dalam
kopohan digunakan sebagak alas saat bayi lahir dari rahim ibunya. dikemudian
hari, bila anak sakit atau rewel, kain tersebut digunakan untuk menggendong
dengan harapan agar sehat kembali. motof kain kopohan antara lain kawung,
parang, truntum dan cakar. Sedangkan untuk menggendong placenta yang sudah
diletakkan dalam kendhil sebelum dikubur atau dilarung menggunakan batik motif
parang rusak (lingkungan keraton), sida mukti, semen rama, sida luhur,
dan wahyu tumurun. Batik untuk emban-emban atau menggendong bayi antara
lain bermotif kawung, truntum, parang, semen sawat manah, sisik buntal, panji
puro atau slimun.
3. Batik untuk acara tetesan, taraban dan Khitan
Tetesan (khitan untuk anak
perempuan) dan khitan menggunakan batik bermotif kecil dan melambangkan
kesegaran dan harapan menjadi orang yang berkepribadian baik, bahagia antara
lain parang pamor dan parangkusumo. Untuk upacara taraban (pertama kali mendapatkan haid, 9-12 tahun) setelah
gadis melakukan siraman, mengenakan batik motif parang cantel atau parang
kusuma. Upacara masa anak-anak bagi pria diakhiri dengan upacara supitan
(khitanan) pada usia 13-15 tahun. Bentuk busana supitan dipengaruhi oleh bentuk
busana wayang orang. Di lingkungan kraton, untuk anak wanita upacara tetesan
diselenggarakan untuk anak-anak yang berada dalam usia 6-8 tahun.[23]
4. Perkawinan
Acara perkawinan dimulai dengana cara melamar yang
dilakukan oleh keluarga laki-laki mengenakan motif parang, lambang ketajaman
rasa dan pikir. semen latar putih lambang kebaikan dan batik bermotif ceplok.
setelah lamaran diterima dilakukan peningsetan sebagai tanda ikatan suami istri
digunakan batik motif satriya manah untuk laki-laki dan semen rante untuk
perempuan.
5. Batik dalam kematian.
ketika seorang jawa meninggal, sebelum dimakamkan,
jenazah dilurupi/ ditutup menggunakan batik kesayangan almarhum atau motif
kawung (simbol balik ke alam suwung = kembali ke alam kesunyian) atau slobog (dari
kata lobok atau longgar) dengan harapan orang yang meninggal mempunyai
kelapangan dan tidak menemui halangan ketika menghadap Sang Khalik.
V. PENUTUP
Kesenian batik merupakan
warisan nenek moyang yang tetap terpelihara hingga sekarang. Batik ibarat cinta
yang tumbuh dan berkembang senantiasa memberi dan memperkaya dunia. Kesenian
ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi
bangsa Indonesia. Makna dan filosofinya yang mendalam membuat batik diterima
oleh banyak orang. Pada zaman modern sekarang ini batik tidak hanya dipakai
oleh kalangan tertentu (keraton) melainkan sudah banyak diminati oleh banyak
kaum muda. Pada hari Jumat
tanggal 2 Oktober tahun 2009, Educational Scientific and Cultural Organisation
(UNESCO), menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia. Hari yang
dinanti-nantikan oleh seluruh penduduk ini pun dijadikan sebagai Hari Batik.
DAFTAR PUSTAKA
_____, Ensiklopedi Indonesia, I, Ichtiar
Baru- Van Hove: Jakarta, 1980.
_____, Ensiklopedi Nasional
Indonesia, Jilid 3, PT Cipta Abdi Pustaka: Jakarta, 1989.
Kitley, Philip Thomas “Batik dan Kebudayaan Populer”, dalam Prisma, 1987.
Purnomo, Kartini “Simbolisme
Batik Tradisional”, dalam Jurnal Filsafat.
Jakarta:
Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada, 1995.
Purwadi. Tata Cara Pernikahan
Pengantin Jawa, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
Suseno,
Franz Magnis. Etika Jawa, Sebuah Analisa
Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 1985.
Suyanto, A. N. Sejarah
Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi,
2002.
Yayasan Harapan Kita-BP3. Batik, Jakarta: Yayasan Harapan Kita, 1997.
Astuti, Sribudi, Makna Batik dalam Kehidupan Manusia, http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/24/batik-sebagai-simbol-daur-hidup-manusia/,
24 Maret 2011
Pratiwi, Dwi Astuti Maya. Makna Batik dalam Pernikahan Adat.
Yogyakarta (Lanjutan), http://dunianyamaya.wordpress.com/2008/04/09/makna-batik-dalam-pernikahan-adat-yogyakarta-lanjutan/
.12 Maret 2011
Pulandar, Nunuk. Arti
dan Cerita di Balik Motif Batik Klasik Jawa, http://baltyra.com/2011/03/23/arti-dan-cerita-di-balik-motif-batik-klasik-jawa-2/
i, 15 Maret 2011.
[1] Kata Batik berasal dari bahasa Jawa dari akar kata ”tik.”
Kata ”tik” mempunyai pengertian berhubungan dengan suatu pekerjaan halus,
lembut, kecil yang mengandung unsur keindahan. Batik adalah hasil penggambaran
motif di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat penggambar dan malam
sebagai zat perintang. [Lihat Yayasan
Harapan Kita-BP3, Batik, (Jakarta:
Yayasan Harapan Kita, 1997), hlm. 14.]
[2]
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah
Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1985),
hlm. 21.
[3]
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa
…, hlm. 12.
[5] Grebeg
adalah upacara adat kraton yang dilaksanakan pada hari raya Islam, pada bulan
besar, mulud dan syawal. Kata grebeg dalam bahasa Jawa sama dengan garebeg,
gerbeg, bermakna: suara angin menderu. Kata dalam bahasa Jawa (h)anggarebeg,
mengandung makna mengiringi raja, pembesar atau pengantin. [Lihat B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta (yogyakarta:
kanisius, 1993), hlm. 9.]
[6] Kartini Purnomo, “Simbolisme Batik
Tradisional”, dalam Jurnal Filsafat
(Jakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, 1995), hlm. 30.
[8] _____, Ensiklopedi Indonesia, I (Ichtiar
Baru- Van Hove: Jakarta, 1980), hlm. 418.
[9] _____, Ensiklopedi Nasional Indonesia,
Jilid 3 (PT Cipta Abdi Pustaka: Jakarta, 1989), hlm. 208.
[12]
Philip Thomas Kitley, “Batik dan Kebudayaan Populer”, dalam Prisma, 5 (Mei 1987), hlm. 57.
[14] Meneropong Makna Spiritual Batik Jawa, http://vieinstyle.com/batik/?p=131 , 3 Maret 2011.
[15] Motif Parang Rusak bergambarkan Parang yang
bertekuk, berbentuk pedang yang tidak sempurna atau rusak. Motif Parang ini
biasanya digunakan oleh ksatria atau penguasa. [Lihat Purwadi. Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), hlm.
65.]
[16] Philip
Thomas Kitley, “Batik dan …, hlm. 54.
[17] Motif ini melambangkan pertumbuhan dan perkembangan
karena sesuai dengan namanya yang berarti hujan rintik-rintik yang bermanfaat
menyembuhkan serta menghidupkan tumbuh-tumbuhan. [Lihat Yayasan Harapan
Kita-BP3 Batik ..., hlm. 65.]
[18]
Hariyanto Atmojo, Traditional
Batik of Kauman Solo (Solo:
PT. Tiga Serangkai Pustaka, 2009),
hlm. 68.
[19] Dwi Astuti Maya Pratiwi,
Makna Batik dalam
Pernikahan Adat Yogyakarta (Lanjutan), http://dunianyamaya.wordpress.com/2008/04/09/makna-batik-dalam-pernikahan-adat-yogyakarta-lanjutan/
, 12 Maret 2011.
[20] Hariyanto Atmojo, Traditional Batik ..., hlm. 78.
[21] Nunuk Pulandar, Arti dan Cerita di Balik Motif Batik
Klasik Jawa, http://baltyra.com/2011/03/23/arti-dan-cerita-di-balik-motif-batik-klasik-jawa-2/
i, 15 Maret 2011.
[22] Sribudi Astuti, Makna
Batik dalam Kehidupan Manusia, http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/24/batik-sebagai-simbol-daur-hidup-manusia/,
24 Maret 2011
[23]
A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta,
(Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002), hlm. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar