Selasa, 04 September 2012

IMMANUEL KANT: KEWAJIBAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL




IMMANUEL KANT: KEWAJIBAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

I.     Pengantar
            Pada zaman sekarang ini, kita hidup di tengah-tengah manusia yang majemuk. Artinya kita hidup di tengah-tengah manusia yang beraneka ragam baik itu suku, budaya, dan juga tujuan hidup. Kemajemukan itu disadari atau tidak disadari akan menimbulkan gaya hidup yang individualisme. Orang akan berusaha mencapai tujuan hidupnya dengan caranya sendiri. Seseorang yang memiliki gaya hidup individualisme bisa jadi kurang memperhatikan orang yang ada di sekitarnya ketika ia sedang berusaha untuk mendapatkan apa yang dia cari.
Orang yang individualisme bisa jadi kurang memperhatikan dampak perbuatannya terhadap orang lain. Sebab baginya yang terpenting adalah mendapatkan apa yang ia inginkan walau untuk mendapatkan apa yang ia inginkan merugikan bahkan mengorbankan orang lain. Tindakan semacam inilah, yang mungkin sering kita sebut sebagai tindakan yang tidak beretika.
Melalui paper yang berjudul “Immanuel Kant: Kewajiban Sebagai Dasar Tindakan Moral” ini, kami akan mencoba memaparkan filsafat etika menurut pandangan Immanuel Kant seorang filsuf besar dalam filsafat Barat Modern. Di sini kami akan mencoba menerangkan apa itu etika menurut Immanuel Kant dan bagaimana Immanuel Kant memaparkan pandangan yang ia junjung tinggi sepanjang hidupnya ini.

II.  Hidup dan Karya Immanuel Kant
            Immanuel Kant merupakan salah seorang filsuf terbesar dalam sejarah Filsafat modern. Ia lahir di Konisberg, sebuah kota kecil di PrusiaTimur, pada tanggal 22 April 1724. Kant merupakan anak keempat dari empat bersaudara dan ia terlahir dalam keluarga yang miskin. Orang tua Kant memiliki usaha sebagai pembuat pelana kuda dan mereka juga adalah panganut setia gerakan pietisme.[1]
Kant memulai pendidikan formalnya pada usia delapan tahun di Collgium Fridericanum, yaitu sekolah yang berlandaskan pada semangat Pietisme.[2] Di sinilah ia diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, dan sikap inilah yang kelak sangat dijunjung tinggi oleh Kant sepanjang hidupnya. Pada tahun 1755, Kant memperoleh gelar doctor di Universitas Konisberg dengan disertasi berjudul “Penggambaran Singkat dari sejumlah pemikiran mengenai Api”. Setelah itu, ia bekerja sebagai Privatdozen di Konisberg.[3]

III.   Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
Dalam sejarah Filsafat, pemikiran seorang filsuf kerap kali muncul akibat dari situasi jamannya. Di sini kami ingin menampilkan berapa hal yang melatar belakangi pemikiran filosofis Immanuel Kant yakni: pertama Kant dan Aufklarung. Pada abad ke-18, Eropa Barat mengalami suatu jaman baru yakni ”Jaman Pencerahan”. Mengapa? Manusia pada jaman ini mulai mencari cahaya baru dalam rasionya. Menurut Immanuel Kant, dengan pencerahan dimaksudkan bahwa orang keluar dari keadaan akil-balig, yang dengannya sendiri ia bersalah. Kesalahan itu terletak pada keengganan memanfaatkan rasionya, lebih berpusat pada otoritas di luar dirinya (wahyu ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran Gereja atau negara). Berhadapan dengan itu maka semboyannya: Sapere aude: beranilah berpikir sendiri. Selain itu, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan saat itu. Misalnya Isaac Newton (1643-1727) yang terkenal lewat karya Ilmu Alam berdasarkan prinsip matematisnya, pelbagai bidang ilmu: ketatanegaraan, agama, ekonomi, pendidikan,  hukum dan lain-lain.
 Semula gerakan ini berkembang di Inggris lalu Eropa daratan, Prancis berjalan amat radikal, yang memberi jalan untuk revolusi Prancis ditandainya penyerbuan penjara Bastille tahun 1789 kelak. Di Jerman lebih tenang dan tertuju pada etika dan teologi. Pada masa pencerahan di Jerman, muncul gerakan keagamaan dalam Lutheranisme Jerman abad ke-18. Gerakan yang dimaksudkan adalah Pietisme yang dipelopori Spener (1635-1705) dan France (1663-1727), muncul reaksi atas teologial akademik yang sangat rasional dan Gereja Institusional yang kaku. Pietisme amat menekankan kesalehan hidup, sikap batin yang baik dan moralitas keras. Ajarannya, Gereja yang sejati berada dalam organisasi manapun atau dalam teologi melainkan dalam hati orang percaya dan saleh. Dari sinilah Kant tidak suka beribadah di gereja, dan menganggap doa tidak perlu sebab Tuhan sudah mengetahui kebutuhan  dan isi hati kita; doa bahkan bisa mendatangkan penghinaan terhadap diri sendiri.  Selanjutnya adanya Allah, kehendak bebas, dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis melainkan sebagai postulat dari budi praktis: idea yang menyangkut kewajiban mentaati hukum moral.
Kedua Leibniz dan Hume. Keduanya mewakili pemikiran filosofis kuat masa pencerahan. Leibniz sebagai tokoh rasionalisme, dan Hume sebagai tokoh empirisme. Rasionalime adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan yang sejati adalah akal budi (rasio). Metode kerjanya yakni deduktif. Empirisme (dari kata Yunani empeiria; pengalaman nyata), pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan baik pengalaman lahiriah maupaun batiniah. Bersifat induktif. Leibniz  yang ahli dalam bidang hukum, kesusastraan, matematika, fisika, teologi, sejarah,  dan filsafat. Berkat Christian von Wolff filsafat Leibniz menjadi suatu sistem . Selanjutnya rasionalisme ala Leibniz dan Wolff menjadi aliran yang meraja di Universitas Jerman sampai Kant tampil di penghujung Pencerahan.[4]

IV. Immanuel Kant Tentang Etika
   Ajaran Kant tentang Etika sungguh-sungguh terdiri dari etika yang murni “a priori”. Pengalaman empiris tidak menjadi dasar etika. Dalam karya Grundlegung, Kant berpendapat bahwa filsafat Yunani dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni fisika, etika dan logika[5]. Hukum-hukum tindakan moral menjadi sasaran etika untuk bergerak, karena bersifat a priori (non empiris). Kant juga membedakan logika dengan etika. Logika bagi Kant bersifat formal dan apriori karena pengalaman empiris tidak dibutuhkan. Bagi etika selain terdapat unsur apriori terdapat pula unsur empiris karena manusia sebagai objek juga dipengaruhi oleh pelbagai kecenderungan dan hawa nafsu yang dapat diketahui melalui pengalaman. Dan etika menjadi suatu ilmu kesusilaan.
            Kewajiban menjadi dasar bagi tindakan moral. Tindakan yang baik dilakukan “tanpa kecuali” merupakan keinginan yang baik. Keberhasilan, prestasi maupun kesehatan merupakan tindakan baik yang bersifat sementara. Hanya baik secara terbatas, sehingga kemungkinan untuk berbuat jahat masih ada. Kant menilai bahwa perbuatan seseorang adalah baik bukan dikarenakan tindakan tersebut dilakukan demi tercapai suatu tujuan tertentu. Apalagi dilakukan berdasarkan kecenderungan spontan. Tindakan yang “sesuai kewajiban” merupakan perlakuan tindakan bukan karena kecenderungan langsung melainkan demi maksud tersendiri. Tindakan yang dilakukan “demi kewajiban” merupakan suatu tindakan yang tidak mengikuti hawa nafsu tetapi selalu melakukan demi kewajiban tersebut.[6]
            Dalam metafisika moralitas, Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas bagi Kant adalah sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini yang ada dalam diri manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek atau tidak diperhatikan. Nilai moral itu ada apabila diperoleh dalam moralitas. Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kant melihat moralitas sebagai “Kebaikan Yang Tertinggi”, dan kebaikan yang tertinggi itu menjadi kebaikan yang sempurna. Kebahagiaan yang dimaksud Kant berbeda dengan kebahagiaan dalam  arti empris, yakni kebahagiaan yang bersifat sementara.
            Keterkaitan antara moral dan etika menjadi dasar suatu tindakan yang bersifat mutlak namun tetap memiliki patokan tertentu. Etika mencari tahu hukum tindakan atau prinsip moral dalam setiap perbuatan manusia dan moralitas menjadi suatu kesesuaian tindakan manusia  dengan norma batiniah. Etika dan moral mengarahkan manusia agar dapat bertindak demi kewajibannya semata-mata.

V.      Kriteria Imperatif Hipotetis dan Kriteria Imperatif Kategoris
a.        Imperatif Hipotetis
            Imperatif Hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sebagai sarana atau syarat untuk mencapai sesuatu yang lain.[7]  Dengan imperatif hipotetis prinsip-prinsip objektif di persyaratkan dengan adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Itu berarti prinsip-prinsip tersebut akan diikuti oleh seseorang jika dengan itu semua tujuan yang diinginkan dapat terwujud, Contohnya: jika ingin mendapatkan rangking di kelas rajinlah belajar dan jangan malu untuk bertanya. Perintah dalam imperatif hipotetis memang memberikan suatu perbuatan yang baik dalam arti tertentu sebab ada syarat untuk meraih semuanya itu. Imperatif hipotetis menyatakan keharusan praktis suatu tindakan yang mungkin sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang lain, yang diinginkan orang atau sesuatu yang mungkin diinginkan orang.[8]
Sebuah imperatif memberitahu kita tindakan-tindakan mana yang baik dan dilain pihak imperatif yang sama juga merumuskan suatu kaidah praktis bagi kehendak kita. Dengan adanya imperatif, kita bisa tahu tindakan yang diambil adalah baik tetapi dalam arti tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah kita tidak harus mengambil tindakan tersebut atau bahkan kita dapat menolak kaidah budi praktis tersebut. Imperatif hipotetis hanya menyatakan bahwa suatu tindakan itu baik bagi suatu tujuan yang mungkin diinginkan atau tujuan yang nyatanya diinginkan.

a.1 Imperatif Hipotetis Problematis 
            Imperatif hipotetis bersifat problematik jika tujuan yang hendak dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan. Sedangkan imperatif hipotetis bersifat pragmatis bila tujuan yang hendak dicapai adalah jelas atau nyata diinginkan. Segala sesuatu yang dapat dicapai oleh usaha manusia berbudi adalah sebuah tujuan yang bisa saja dikehendaki oleh dirinya sendiri. Sebagai akibat dari semuanya itu adalah adanya banyak prinsip tindakan yang jumlahnya tidak terhingga tetapi sejauh tindakan tersebut dimengerti sebagai suatu yang mutlak perlu untuk meraih tujuan tertentu. Semuanya itu terdapat pada ilmu pengetahuan alam dan sering disebut imperatif–imperatif kecakapan. Didalamnya tidak ada permasalahan mengenai rasionalitas atau kebaikan dari tujuan tersebut.
Masalah yang lain adalah apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan itu, contoh: resep yang diberikan seorang dokter kepada pasiennya dan di lain pihak resep yang diberikan seorang peramu racun yang memiliki niat jahat untuk membunuh seseorang. Keduanya mempunyai nilai “cakap” sebab masing-masing mengusahakan agar tujuanya berhasil. Dari semuanya itu kita dapat melihat bahwa ada banyak prinsip-prinsp tindakan untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan.
Realitas ini menunjukkan bahwa banyaknya tujuan yang diinginkan banyak orang dan banyaknya sarana-sarana yang dipakai dan diperlukan seringkali bertentangan satu sama lain. Kant berpendapat bahwa bila tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan orang, maka imperatif hipotetisnya bersifat problematik. Lalu bila muncul pertanyaan: Bagaimana imperatif hipotetis itu bisa terdapat dalam diri manusia? I. Kant sendiri menjawab pertanyaan tersebut dengan mengacu pada pendidikan kita.
            Saat masih anak-anak, kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita kelak. Orangtualah yang membantu membekali kita dengan kemampuan menggunakan sarana-sarana yang ada demi meraih sesuatu yang mungkin kita inginkan. Tetapi sebenarnya mereka juga tidak tahu dengan pasti apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam hidup anaknya kelak. Orangtua mendidik anaknya dengan berpikir bahwa selama apa yang ingin capai adalah apa yang mungkin anak mereka inginkan. Maka orangtua perlu memberikan “kecakapan-kecakapan” dalam memakai pelbagai hal yang mungkin akan mereka capai sebagai tujuanya. Akibatnya masing-masing orang tua bisa memiliki sesuatu dan tujuan untuk mencapai apa yang mereka inginkan yang pastinya berbeda-beda atau bahkan dapat saling bertentangan satu sama lain.
            Ada satu tujuan yang berbeda yang mungkin dinginkan dan pada kenyataannya sudah  tentu dinginkan oleh setiap orang. Tujuan yang diinginkan tersebut adalah kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan ini menurut Kant adalah terpuaskannya semua keinginan dan kecenderungan manusia yang tetap dibidang empiris seperti: kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan, dll. Kebahagiaan sebagai tujuan, menurut Kant tidak saja merupakan suatu yang bisa dimiliki manusia, melainkan juga dapat dipastikan sebagai suatu yang diidamkan manusia berdasarkan keharusan kodratnya.[9]

a.2 Imperatif Hipotetis Asertoris
            Imperatif hipotetis asertoris merupakan sebuah imperatif yang menegaskan keharusan praktis suatu tindakan sebagai sarana untuk menggapai suatu tujuan. Imperatif hipotetis asertoris memerintahkan orang untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya, misalnya: kebahagiaan. Imperatif tersebut akan mengatakan bahwa setiap orang memang menghendaki kebahagiaan karena keharusan kodrat, sehingga kita wajib dan perlu melakukan banyak cara untuk dapat mencapainya. Sudah barang tentu kita memerlukan tindakan-tindakan tertentu sebagai sarana untuk dapat mewujudkannya, contohnya: apabila kita ingin berhasil maka berusahalah dengan sungguh-sunguh dan jangan mudah putus asa bila menghadapi permasalahan.
            Kebahagiaan bukanlah suatu tujuan yang dapat diletakkan di hadapan kita atau dikesampingkan dengan sesuka hati, seperti seseorang memilih atau tidak memilih suatu barang kesukaannya. Dalam imperatif hipotetis asertoris keharusan tindakan yang diperintahkan tidak berbunyi “kalau kamu ingin bahagia” sebab pada kenyataanya setiap orang menghendaki kebahagiaan. Imperatif hipotetis asertoris menegaskan bahwa setiap orang sungguh menghendaki kebahagiaan dan pastinya kita wajib melakukan tindakan tertentu guna mencapai semuanya itu.
Imperatif hipotetis asertoris tidak hanya menunjukkan sarana-sarana yang perlu untuk mencapai apa yang diinginkan, melainkan juga sarana-sarana untuk mencapai tujuan yang dapat kita andaikan a priori yang mutlak perlu dan dapat dipastikan ada pada diri setiap orang berdasarkan keharusan kodratnya. Kemampuan orang untuk memilih sarana-sarana yang tepat demi mencapai kebahagiaan ini dinamai oleh Kant sebagai “kebijaksanaan dalam arti sempit”.[10] Jadi sebuah perintah yang berhubungan dengan pemilihan sarana-sarana untuk mencapai kebahagiaan tersebut menurut Kant disebut sebagai petunjuk-petunjuk kebijaksanaan yang tetap bersifat hipotetis. Dalam imperatif hipotetis asertoris, suatu perbuatan atau tindakan diperintahkan tidak secara mutlak, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut. Hingga pada akhirnya menurut Kant ada imperatif yang memerintahkan suatu tindakan dilakukan begitu saja dan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dan imperatif  ini bersifat kategoris.

b.   Imperatif Kategoris
            Manusia dalam dinamika hidupnya senantiasa dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Dapat juga dikatakan bahwa citra diri dan eksistensinya merupakan wujud dari perkembangan budi dan rasionalnya. Dalam lingkup rasional, sebagai dirinya, manusia mengawali proses pencarian hidup dalam dunia yang juga dihuni oleh makhluk hidup dan manusia lainnya. Pencarian ini selalu terikat pada hukum-hukum yang berlaku untuk menciptakan tatanan kehidupan yang baik. Pencapaian taraf kebaikan itu selalu diwarnai bentuk-bentuk perilaku setiap manusia. Perilaku manusia sendiri tidak lepas dari perilaku moral dalam baik dan buruk. Keadaan ini juga sesungguhnya tidak hanya terhenti pada baik perilaku dan buruk perilaku seseorang, melainkan mengandung unsur prinsip manusia dalam menentukan keputusannya. Baik dari dirinya sendiri, adalah baik tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah baik dari segala segi, tanpa ada pembatasan. Baik secara mutlak! Itulah yang dibahas dalam pengandaian Immanuel Kant yang pertama.
            Ada kewajiban yang menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu sendiri menurut Kant adalah paham a priori akal budi praktis murni, maka kewajiban itu tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan dua kriteria untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar perintah, lebih dalam lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif.[11] Inti dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah secara moral! Ada dua segi yang perlu dalam imperatif kategoris ini. Pertama, bahwa dia berupa perintah, dan kedua, bahwa perintah itu kategoris.[12]
            Imperatif kategoris ini adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa bertindak secara moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan atau kondisi, melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun. Bertindak secara moral dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai
berikut, “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum umum.”[13] Maksim[14] itu menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan pada maksim lebih tepat dibandingkan etika peraturan atau norma.
            Ada keuntungan-keuntungan yang dicapai etika maksim atas etika norma-norma. Höffe[15], membaginya dalam 4 keuntungan: a) Dalam konteks, sebuah norma konkret belum tentu harus ditaati dalam setiap konteks; sebelum bertindak, konteks tindakan perlu dilihat dulu; b) keterarahan kepada prinsip-prinsip (maxim) menghubungkan berbagai tindakan dan bagian hidup dalam satu kaitan makna; c) prinsip-prinsip itu memperlihatkan watak seseorang; d) Etika peraturan tidak mampu membedakan antara legalitas dan moralitas. Beranjak dari 4 keuntungan ini, ada pembedaan tentang prinsip-prinsip baik atau moral, dan mana yang tidak. Inilah arti dari rumusan imperatif kategoris itu, “bertindaklah sesuai dengan kewajiban kita bila kita bertindak menurut prinsip-prinsip yang sekaligus dapat kita kehendaki berlakunya, dan menjadi hukum pada umumnya. Secara singkat disebut PRINSIP PENGUNIVERSALISASIAN.
            Prinsip ini menimbulkan suatu pertanyaan mengenai dasar manusia untuk dapat bertindak sesuai dengan imperatif kategoris. Jawaban atas pertanyaan ini adalah Otonomi Kehendak. Otonomi Kehendak berarti bahwa kehendak sendiri memberikan hukum. Prinsip ini diawali Kant dengan menyingkirkan semua prinsip (maxim) dari kehendak yang tidak moral, bersifat Heteronom. Arti menyingkirkan prinsip lain ini adalah di sini kehendak berhadapan dengan hukum yang bukan hukumnya sendiri. Disini termasuk perasaan enak dan tidak enak, dan melakukan tindakan karena tunduk pada pihak lain. Kehendak otonom adalah kehendak yang semata-mata ditentukan oleh bentuk prinsip-prinsipnya. Kehendak Otonom hanya mengakui diri dibawah keharusan yang berasal dari hukum atau kewajiban yang disadari dan diakuinya sendiri sebagai hukum dan kewajibannya. Menyadari sesuatu sebagai kewajiban adalah sudah sepatutnya saya lakukan. Maka kewajiban itu saya yakini, dan dengan demikian bukan berasal dari luar.
            Immanuel Kant meyakini bahwa pembuktian kenyataan moralitas ini tidak bersifat teoritis, melainkan praktis.[16] Dalam tindakan prakteknya, tindakan itu harus disertai oleh kesadaran moral. Kesadaran itu adalah fakta, namun bukan empiris. Ia bersifat fakta moralitis karena ada dalam kesadaran kita atau yang biasa disebut hati atau hati nurani. Dapat dikatakan dalam hidupnya orang dapat melawan kata hatinya, namun yang tak dapat disangkal adalah bahwa ia berhadapan dengan kontradiksi. Orang lain berharap mempercayai penyangkalannya, dengan harapan bahwa kita mengakui bahwa ia tidak berbohong dan hal itu mengandaikan bahwa ia sadar ada kewajiban mutlak untuk tidak berbohong.

VI. Refleksi Kritis Tentang Etika Immanuel Kant
Sebagai sebuah teori yang dapat mengajar orang untuk berpikir, menggunakan rasionya dalam menentukan arah tindakannya, ajaran etika menjadi ajaran yang mampu membuka mata manusia untuk mempertanggungjawabkan sikap moralnya. Sebagai filsafat, etika mempersoalkan cara norma-norma dan nilai-nilai serta pernyataan-pernyataan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi. Selain itu persoalan yang muncul adalah pandangan bahwa hukum moral itu hanya bersifat a priori yang terkait dengan prinsip otonomi. Bila moralitas semata-mata didasarkan atas tingkah-laku lahiriah milik saya atau orang lain, maka manusia itu akan terdorong pada daya tarik dari orang-orang yang bertingkah laku baik.    
Berkenaan dengan filsafat moral, Immanuel Kant mampu menorehkan ide-ide filsafat moralnya yang menyentuh realitas hidup manusia. Ajaran Immanuel Kant tentang etika dalam imperatif  kategoris mempunyai dasar penting yang menjadi prinsip manusia dalam berpikir yang  berguna pada suatu tindakan yang keluar dari diri manusia. Manusia sebagai pribadi yang bernilai mutlak dan bermartabat pada dirinya sendiri adalah salah satu pokok penting dalam ajaran Kant mengenai Imperatif kategoris. Manusia yang bernilai dan bermartabat juga dapat ditelusuri dengan melihat jejak-jejak tindakannya. Memaksakan sikap moral berarti merendahkan martabat manusia sebagai makhluk moral. Maka dalam realitas ini, orang akan sungguh dihargai kemanusiaannya jika orang tersebut bertindak pada jalur yang benar.
Pemikiran yang berilian dari seorang Immanuel Kant mengenai etikanya ini, terutama dalam imperatif kategoris menghantar kita untuk mengetahui hakekat moral itu yang adalah kesadaran akan kewajiban (kewajiban yang mutlak). Hal ini dapat membingungkan para pembaca mengenai kewajiban mutlak itu. Tampaknya pemikiran Kant sangat memaksa dan berlebihan kerasnya. Kesadaran akan kewajiban dapat dipahami dengan menolak perbuatan yang semata-mata karena perasaan. Kita tidak dapat menilai orang lain kalau ia baik sekedar karena senang melihat rekan bisnisnya, dan menjadikannya mitra dalam usahanya. Untuk menilai dia sebagai pribadi baik, kita juga akan memeriksa bagaimana ia bertindak apabila tidak senang terhadap asistennya.
Imperatif hipotetis bukanlah perintah moral sehingga perbuatan yang diperintahkannya bukanlah perintah moral. Imannuel Kant sendiri mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan demi kebahagiaan adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri manusia berdasarkan keharusan kodratnya. Pada kenyataanya kebahagiaan diinginkan oleh setiap orang. Imperatif hipotetis dibedakan dan dipertentangkan dengan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah perintah yang memberitahu kita bagaimana mencapai tujuan tertentu yang kita inginkan.
Imannuel Kant menolak imperatif hipotetis sebagai perintah moral. Alasannya karena hakikat dan nilai moral diletakkan pada sesuatu yang berbeda diluar kehendak makhluk berbudi, contohnya: rasa kasihan yang merupakan kecenderungan empiris. Nilai moral ditentukan oleh kewajiban sebagai sesuatu yang dikehendaki diri sendiri dan semua itu berasal dari dalam dirinya. Kita bisa mengambil sebuah contoh imperatif hipotetis yang memerintahkan seseorang untuk bertindak demi kebahagiaan tetapi tidak memiliki nilai moral. Sudah barang tentu semua itu tidak sesuai dengan moral karena menghalalkan segala cara demi meraih kebahagiaan.
Dalam imperatif hipotetis, kebahagiaaan adalah terpuaskannya semua dorongan dan kecenderungan manusia dibidang empiris, tetapi karena hanya menyangkut dorongan dibidang empiris, maka sifat kebahagiaan adalah relatif. Sedangkan yang dituntut oleh hukum moral adalah keharusan yang bersifat mutlak.  Mutlak berarti bahwa kewajiban moral tidak berlaku asal menguntungkan, asal memuaskan perasaan, dan asal cocok dengan pendapat orang lain. Dengan ini Kant sebenarnya bermaksud menolak dan menutup pintu gerbang eudamonisme ala Aristoteles maupun etika hedonisme ala Epikurus.

VII. Penutup
Berdasarkan uraian mengenai ajaran Kant tentang etika, kiranya kita bisa menarik beberapa hal yang menjadi inti dari ajaran Kant tentang etika. Pertama, bagi Kant etika kewajiban menjadi dasar tindakan moral dan moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kedua, kewajiban yang menjadi dasar tindakan moral memiliki dua Kriteria yang disebut dengan imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis merupakan perintah bersyarat, artinya suatu tindakan diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat.
Baik bagi kita untuk merubah kebiasaan yang mungkin selama ini kita sadari sebagai imperatif hipotetis. Hanya bertindak demi mendapatkan sesuatu yang hendak dicapai tanpa memperhatikan nilai moral yang terkandung didalamnya. Kant menawarkan kepada kita mengenai kewajiban yang menuntun kita untuk bertindak berdasarkan kewajiban mutlak dalam diri kita. Tampaknya sangat keras, dan memang keras, karena didalamnya tidak mengandung unsur suka dan tidak suka, benci dan tidak benci, cinta dan tidak cinta melainkan pada kebaikan mutlak dalam dirinya.    
Daftar Pustaka

Budi, Hardiman F. Filsafat dari Macchiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Magnis-Suseno, Frans. 13 TokohEetika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

----------. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

O’ Colins, Gerald dan Edwar G. Farrugia. Kamus Teologi (judul asli: A Consice Dictionary
of Theology ). Diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Tjahjadi, S. P. Lili. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

-----------. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.







[1] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris (Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 25.
               
[2] Pietisme adalah gerakan kebangkitan dalam Protestantisme yang dirintis oleh Philipp Jakob Spener (1635-1705) yang menekankan doa, pembacaan Kitab Suci, pengalaman religius, dan kehidupan Kristiani yang yang sungguh-sungguh dalam komunitas-komunitas kecil. Gerakan ini muncul sebagi reaksi untuk melawan ortodoksi formal Gerejawi resmi yang amat kuat. Pietisme juga mendorong munculnya metodisme dan mempunyai pengaruh pada ahli-ahli teologi seperti Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834). [ Lihat Gerald O’Colins dan Edwar G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Consice Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 256.]

[3] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral…, hlm. 26.

[4] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral…, hlm. 29-35.

[5] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral …, hlm. 46. 

            [6] S.P. Lili. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius 2004), hlm. 287.

[7] S.P. Lili. Tjhajadi, Petualangan …, hlm. 289.

[8] S. P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral …, hlm. 74. 

[9] S. P. Lili. Tjahjadi, Hukum Moral…, hlm. 70.

[10] S. P. Lili. Tjahjadi,  Hukum Moral…, hlm. 76.

[11] Kant membedakan ‘perintah’dan ‘imperatif’. Perintah adalah asas obyektif sejauh mengharuskan kehendak subjektif, sedangkan imperatif adalah bentuk putusan dari perintah, dirumuskan ‘seharusnya’ (sollen). [Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 147.]

[12] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997),  hlm. 145.

[13] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika …, hlm. 147.

[14] Maxim adalah perintah subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan – tindakan konkret. Maxim bukan segala macam pertimbangan. Maksim adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. [Lihat Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika …, hlm. 147

[15]  Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika …, hlm. 147; bdk. Otfried Höffe (ed), Einführung in die utilitaristische Ethik. Klassische und zeitgenössische Texte (München: Beck, 1975), hlm. 187.

[16]  Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika …, hlm. 152.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar