IMMANUEL
KANT: KEWAJIBAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL
I. Pengantar
Pada
zaman sekarang ini, kita hidup di tengah-tengah manusia yang majemuk. Artinya
kita hidup di tengah-tengah manusia yang beraneka ragam baik itu suku, budaya,
dan juga tujuan hidup. Kemajemukan itu disadari atau tidak disadari akan
menimbulkan gaya hidup yang individualisme. Orang akan berusaha mencapai tujuan
hidupnya dengan caranya sendiri. Seseorang yang memiliki gaya hidup
individualisme bisa jadi kurang memperhatikan orang yang ada di sekitarnya
ketika ia sedang berusaha untuk mendapatkan apa yang dia cari.
Orang yang individualisme bisa jadi
kurang memperhatikan dampak perbuatannya terhadap orang lain. Sebab baginya
yang terpenting adalah mendapatkan apa yang ia inginkan walau untuk mendapatkan
apa yang ia inginkan merugikan bahkan mengorbankan orang lain. Tindakan semacam
inilah, yang mungkin sering kita sebut sebagai tindakan yang tidak beretika.
Melalui paper yang
berjudul “Immanuel Kant: Kewajiban Sebagai Dasar Tindakan Moral” ini, kami akan
mencoba memaparkan filsafat etika menurut pandangan Immanuel Kant seorang
filsuf besar dalam filsafat Barat Modern. Di sini kami akan mencoba menerangkan
apa itu etika menurut Immanuel Kant dan bagaimana Immanuel Kant memaparkan
pandangan yang ia junjung tinggi sepanjang hidupnya ini.
II. Hidup dan Karya Immanuel Kant
Immanuel
Kant merupakan salah seorang filsuf terbesar dalam sejarah Filsafat modern. Ia
lahir di Konisberg, sebuah kota kecil di PrusiaTimur, pada tanggal 22 April
1724. Kant merupakan anak keempat dari empat bersaudara dan ia terlahir dalam
keluarga yang miskin. Orang tua Kant memiliki usaha sebagai pembuat pelana kuda
dan mereka juga adalah panganut setia gerakan pietisme.[1]
Kant memulai pendidikan
formalnya pada usia delapan tahun di Collgium
Fridericanum, yaitu sekolah yang berlandaskan pada semangat Pietisme.[2] Di
sinilah ia diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, dan sikap
inilah yang kelak sangat dijunjung tinggi oleh Kant sepanjang hidupnya. Pada
tahun 1755, Kant memperoleh gelar doctor di Universitas Konisberg dengan
disertasi berjudul “Penggambaran Singkat
dari sejumlah pemikiran mengenai Api”. Setelah itu, ia bekerja sebagai Privatdozen di Konisberg.[3]
III.
Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
Dalam sejarah Filsafat, pemikiran seorang filsuf kerap kali muncul akibat
dari situasi jamannya. Di sini kami ingin menampilkan berapa hal yang melatar belakangi
pemikiran filosofis Immanuel Kant yakni: pertama Kant dan Aufklarung. Pada abad ke-18, Eropa Barat mengalami suatu
jaman baru yakni ”Jaman Pencerahan”.
Mengapa? Manusia pada jaman
ini mulai mencari cahaya baru dalam rasionya. Menurut Immanuel Kant, dengan
pencerahan dimaksudkan bahwa orang keluar dari keadaan akil-balig, yang
dengannya sendiri ia bersalah. Kesalahan itu terletak pada keengganan
memanfaatkan rasionya, lebih berpusat pada otoritas di luar dirinya (wahyu
ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran Gereja atau negara). Berhadapan dengan
itu maka semboyannya: Sapere aude:
beranilah berpikir sendiri. Selain itu, pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan saat itu. Misalnya Isaac Newton (1643-1727) yang terkenal lewat karya
Ilmu Alam berdasarkan prinsip matematisnya, pelbagai bidang ilmu:
ketatanegaraan, agama, ekonomi, pendidikan,
hukum dan lain-lain.
Semula gerakan ini berkembang di
Inggris lalu Eropa daratan, Prancis berjalan amat radikal, yang memberi jalan
untuk revolusi Prancis ditandainya penyerbuan penjara Bastille tahun 1789
kelak. Di Jerman lebih
tenang dan tertuju pada etika dan teologi. Pada masa pencerahan di Jerman, muncul gerakan keagamaan dalam
Lutheranisme Jerman abad ke-18. Gerakan yang dimaksudkan adalah Pietisme yang
dipelopori Spener (1635-1705) dan France (1663-1727), muncul reaksi atas
teologial akademik yang sangat rasional dan Gereja Institusional yang kaku.
Pietisme amat menekankan kesalehan hidup, sikap batin yang baik dan moralitas
keras. Ajarannya, Gereja yang sejati berada dalam organisasi manapun atau dalam
teologi melainkan dalam hati orang percaya dan saleh. Dari sinilah Kant tidak
suka beribadah di gereja, dan menganggap doa tidak perlu sebab Tuhan sudah
mengetahui kebutuhan dan isi hati kita;
doa bahkan bisa mendatangkan penghinaan terhadap diri sendiri. Selanjutnya adanya Allah, kehendak bebas, dan
kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis melainkan sebagai postulat
dari budi praktis: idea yang menyangkut kewajiban mentaati hukum moral.
Kedua Leibniz dan Hume. Keduanya mewakili pemikiran filosofis kuat masa pencerahan.
Leibniz sebagai tokoh rasionalisme, dan Hume sebagai tokoh empirisme.
Rasionalime adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan
yang sejati adalah akal budi (rasio). Metode kerjanya yakni deduktif. Empirisme
(dari kata Yunani empeiria;
pengalaman nyata), pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan baik
pengalaman lahiriah maupaun batiniah. Bersifat induktif. Leibniz yang ahli dalam bidang hukum, kesusastraan,
matematika, fisika, teologi, sejarah,
dan filsafat. Berkat Christian von Wolff filsafat Leibniz menjadi suatu
sistem . Selanjutnya rasionalisme ala Leibniz dan Wolff menjadi aliran yang
meraja di Universitas Jerman sampai Kant tampil di penghujung Pencerahan.[4]
IV.
Immanuel Kant Tentang Etika
Ajaran Kant tentang Etika sungguh-sungguh terdiri dari
etika yang murni “a priori”. Pengalaman empiris tidak menjadi dasar etika.
Dalam karya Grundlegung, Kant
berpendapat bahwa filsafat Yunani dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni
fisika, etika dan logika[5]. Hukum-hukum tindakan moral menjadi sasaran etika untuk
bergerak, karena bersifat a priori
(non empiris). Kant juga membedakan logika dengan etika. Logika bagi Kant
bersifat formal dan apriori karena pengalaman empiris tidak dibutuhkan. Bagi
etika selain terdapat unsur apriori terdapat pula unsur empiris karena manusia
sebagai objek juga dipengaruhi oleh pelbagai kecenderungan dan hawa nafsu yang
dapat diketahui melalui pengalaman. Dan etika menjadi
suatu ilmu kesusilaan.
Kewajiban
menjadi dasar bagi tindakan moral. Tindakan yang baik dilakukan “tanpa kecuali”
merupakan keinginan yang baik. Keberhasilan, prestasi maupun kesehatan
merupakan tindakan baik yang bersifat sementara. Hanya baik secara terbatas,
sehingga kemungkinan untuk berbuat jahat masih ada. Kant menilai bahwa
perbuatan seseorang adalah baik bukan dikarenakan tindakan tersebut dilakukan
demi tercapai suatu tujuan tertentu. Apalagi dilakukan
berdasarkan kecenderungan spontan. Tindakan yang “sesuai kewajiban” merupakan
perlakuan tindakan bukan karena kecenderungan langsung melainkan demi maksud
tersendiri. Tindakan yang dilakukan “demi kewajiban” merupakan suatu tindakan
yang tidak mengikuti hawa nafsu tetapi selalu melakukan demi kewajiban
tersebut.[6]
Dalam
metafisika moralitas, Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan
moralitas. Legalitas bagi Kant adalah
sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini
yang ada dalam diri manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin
tidak menjadi objek atau tidak diperhatikan. Nilai moral itu ada apabila
diperoleh dalam moralitas. Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah
manusia.
Kant melihat moralitas sebagai “Kebaikan Yang Tertinggi”, dan kebaikan yang
tertinggi itu menjadi kebaikan yang sempurna. Kebahagiaan yang dimaksud Kant
berbeda dengan kebahagiaan dalam arti
empris, yakni kebahagiaan yang bersifat sementara.
Keterkaitan
antara moral dan etika menjadi dasar suatu tindakan yang bersifat mutlak namun tetap memiliki patokan tertentu. Etika
mencari tahu hukum tindakan atau prinsip moral dalam setiap perbuatan manusia
dan moralitas menjadi suatu kesesuaian tindakan manusia dengan norma batiniah. Etika dan moral
mengarahkan manusia agar dapat bertindak demi kewajibannya semata-mata.
V. Kriteria
Imperatif Hipotetis dan Kriteria Imperatif Kategoris
a.
Imperatif
Hipotetis
Imperatif
Hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan
sebagai sarana atau syarat untuk mencapai sesuatu yang lain.[7] Dengan imperatif hipotetis prinsip-prinsip
objektif di persyaratkan dengan adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai.
Itu berarti prinsip-prinsip tersebut akan diikuti oleh seseorang jika dengan
itu semua tujuan yang diinginkan dapat terwujud, Contohnya: jika ingin
mendapatkan rangking di kelas rajinlah belajar dan jangan malu untuk bertanya.
Perintah dalam imperatif hipotetis memang memberikan suatu perbuatan yang baik
dalam arti tertentu sebab ada syarat untuk meraih semuanya itu. Imperatif
hipotetis menyatakan keharusan praktis suatu tindakan yang mungkin sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu yang lain, yang diinginkan orang atau sesuatu
yang mungkin diinginkan orang.[8]
Sebuah imperatif
memberitahu kita tindakan-tindakan mana yang baik dan dilain pihak imperatif
yang sama juga merumuskan suatu kaidah praktis bagi kehendak kita. Dengan
adanya imperatif, kita bisa tahu tindakan yang diambil adalah baik tetapi dalam
arti tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah kita tidak harus mengambil
tindakan tersebut atau bahkan kita dapat menolak kaidah budi praktis tersebut.
Imperatif hipotetis hanya menyatakan bahwa suatu tindakan itu baik bagi suatu
tujuan yang mungkin diinginkan atau tujuan yang nyatanya diinginkan.
a.1 Imperatif Hipotetis
Problematis
Imperatif
hipotetis bersifat problematik jika tujuan yang hendak dicapai adalah apa yang
mungkin diinginkan. Sedangkan imperatif hipotetis bersifat pragmatis bila
tujuan yang hendak dicapai adalah jelas atau nyata diinginkan. Segala sesuatu
yang dapat dicapai oleh usaha manusia berbudi adalah sebuah tujuan yang bisa
saja dikehendaki oleh dirinya sendiri. Sebagai akibat dari semuanya itu adalah
adanya banyak prinsip tindakan yang jumlahnya tidak terhingga tetapi sejauh
tindakan tersebut dimengerti sebagai suatu yang mutlak perlu untuk meraih
tujuan tertentu. Semuanya itu terdapat pada ilmu pengetahuan alam dan sering
disebut imperatif–imperatif kecakapan. Didalamnya tidak ada permasalahan
mengenai rasionalitas atau kebaikan dari tujuan tersebut.
Masalah yang lain
adalah apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan itu, contoh: resep yang
diberikan seorang dokter kepada pasiennya dan di lain pihak resep yang
diberikan seorang peramu racun yang memiliki niat jahat untuk membunuh
seseorang. Keduanya mempunyai nilai “cakap” sebab masing-masing mengusahakan
agar tujuanya berhasil. Dari semuanya itu kita dapat melihat bahwa ada banyak
prinsip-prinsp tindakan untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan.
Realitas ini
menunjukkan bahwa banyaknya tujuan yang diinginkan banyak orang dan banyaknya
sarana-sarana yang dipakai dan diperlukan seringkali bertentangan satu sama
lain. Kant berpendapat bahwa bila tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang
mungkin diinginkan orang, maka imperatif hipotetisnya bersifat problematik.
Lalu bila muncul pertanyaan: Bagaimana imperatif hipotetis itu bisa terdapat
dalam diri manusia? I. Kant sendiri menjawab pertanyaan tersebut dengan mengacu
pada pendidikan kita.
Saat
masih anak-anak, kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita kelak.
Orangtualah yang membantu membekali kita dengan kemampuan menggunakan
sarana-sarana yang ada demi meraih sesuatu yang mungkin kita inginkan. Tetapi
sebenarnya mereka juga tidak tahu dengan pasti apa yang menjadi tujuan yang
hendak dicapai dalam hidup anaknya kelak. Orangtua mendidik anaknya dengan
berpikir bahwa selama apa yang ingin capai adalah apa yang mungkin anak mereka
inginkan. Maka orangtua perlu memberikan “kecakapan-kecakapan” dalam memakai
pelbagai hal yang mungkin akan mereka capai sebagai tujuanya. Akibatnya
masing-masing orang tua bisa memiliki sesuatu dan tujuan untuk mencapai apa
yang mereka inginkan yang pastinya berbeda-beda atau bahkan dapat saling
bertentangan satu sama lain.
Ada
satu tujuan yang berbeda yang mungkin dinginkan dan pada kenyataannya sudah tentu dinginkan oleh setiap orang. Tujuan yang
diinginkan tersebut adalah kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan ini menurut
Kant adalah terpuaskannya semua keinginan dan kecenderungan manusia yang tetap
dibidang empiris seperti: kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kesejahteraan,
kesehatan, dll. Kebahagiaan sebagai tujuan, menurut Kant tidak saja merupakan
suatu yang bisa dimiliki manusia, melainkan juga dapat dipastikan sebagai suatu
yang diidamkan manusia berdasarkan keharusan kodratnya.[9]
a.2
Imperatif Hipotetis Asertoris
Imperatif
hipotetis asertoris merupakan sebuah imperatif yang menegaskan keharusan
praktis suatu tindakan sebagai sarana untuk menggapai suatu tujuan. Imperatif
hipotetis asertoris memerintahkan orang untuk mencapai tujuan yang hendak
dicapainya, misalnya: kebahagiaan. Imperatif tersebut akan mengatakan bahwa
setiap orang memang menghendaki kebahagiaan karena keharusan kodrat, sehingga
kita wajib dan perlu melakukan banyak cara untuk dapat mencapainya. Sudah
barang tentu kita memerlukan tindakan-tindakan tertentu sebagai sarana untuk
dapat mewujudkannya, contohnya: apabila kita ingin berhasil maka berusahalah
dengan sungguh-sunguh dan jangan mudah putus asa bila menghadapi permasalahan.
Kebahagiaan
bukanlah suatu tujuan yang dapat diletakkan di hadapan kita atau dikesampingkan
dengan sesuka hati, seperti seseorang memilih atau tidak memilih suatu barang
kesukaannya. Dalam imperatif hipotetis asertoris keharusan tindakan yang
diperintahkan tidak berbunyi “kalau kamu ingin bahagia” sebab pada kenyataanya
setiap orang menghendaki kebahagiaan. Imperatif hipotetis asertoris menegaskan
bahwa setiap orang sungguh menghendaki kebahagiaan dan pastinya kita wajib
melakukan tindakan tertentu guna mencapai semuanya itu.
Imperatif hipotetis
asertoris tidak hanya menunjukkan sarana-sarana yang perlu untuk mencapai apa
yang diinginkan, melainkan juga sarana-sarana untuk mencapai tujuan yang dapat
kita andaikan a priori yang mutlak perlu dan dapat dipastikan ada pada diri
setiap orang berdasarkan keharusan kodratnya. Kemampuan orang untuk memilih
sarana-sarana yang tepat demi mencapai kebahagiaan ini dinamai oleh Kant
sebagai “kebijaksanaan dalam arti sempit”.[10]
Jadi sebuah perintah yang berhubungan dengan pemilihan sarana-sarana untuk
mencapai kebahagiaan tersebut menurut Kant disebut sebagai petunjuk-petunjuk
kebijaksanaan yang tetap bersifat hipotetis. Dalam imperatif hipotetis
asertoris, suatu perbuatan atau tindakan diperintahkan tidak secara mutlak,
melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut. Hingga pada
akhirnya menurut Kant ada imperatif yang memerintahkan suatu tindakan dilakukan
begitu saja dan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dan imperatif ini bersifat kategoris.
b. Imperatif Kategoris
Manusia
dalam dinamika hidupnya senantiasa dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemikiran
dan pemahamannya masing-masing. Dapat juga dikatakan bahwa citra diri dan
eksistensinya merupakan wujud dari perkembangan budi dan rasionalnya. Dalam
lingkup rasional, sebagai dirinya, manusia mengawali proses pencarian hidup
dalam dunia yang juga dihuni oleh makhluk hidup dan manusia lainnya. Pencarian
ini selalu terikat pada hukum-hukum yang berlaku untuk menciptakan tatanan
kehidupan yang baik. Pencapaian taraf kebaikan itu selalu diwarnai
bentuk-bentuk perilaku setiap manusia. Perilaku manusia sendiri tidak lepas
dari perilaku moral dalam baik dan buruk. Keadaan ini juga sesungguhnya tidak
hanya terhenti pada baik perilaku dan buruk perilaku seseorang, melainkan
mengandung unsur prinsip manusia dalam menentukan keputusannya. Baik dari
dirinya sendiri, adalah baik tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral
adalah baik dari segala segi, tanpa ada pembatasan. Baik secara mutlak! Itulah
yang dibahas dalam pengandaian Immanuel Kant yang pertama.
Ada
kewajiban yang menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu
sendiri menurut Kant adalah paham a priori akal budi praktis murni, maka
kewajiban itu tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan
dua kriteria untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar
perintah, lebih dalam lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif.[11] Inti
dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah secara moral! Ada dua segi
yang perlu dalam imperatif kategoris ini. Pertama, bahwa dia berupa perintah,
dan kedua, bahwa perintah itu kategoris.[12]
Imperatif
kategoris ini adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak.
Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu,
melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa bertindak secara
moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan atau kondisi,
melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun. Bertindak secara
moral dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai
berikut, “Bertindaklah semata-mata
menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum
umum.”[13]
Maksim[14]
itu menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan
pada maksim lebih tepat dibandingkan etika peraturan atau norma.
Ada
keuntungan-keuntungan yang dicapai etika maksim atas etika norma-norma. Höffe[15],
membaginya dalam 4 keuntungan: a) Dalam konteks, sebuah norma konkret belum
tentu harus ditaati dalam setiap konteks; sebelum bertindak, konteks tindakan
perlu dilihat dulu; b) keterarahan kepada prinsip-prinsip (maxim) menghubungkan
berbagai tindakan dan bagian hidup dalam satu kaitan makna; c) prinsip-prinsip
itu memperlihatkan watak seseorang; d) Etika peraturan tidak mampu membedakan
antara legalitas dan moralitas. Beranjak dari 4 keuntungan ini, ada pembedaan
tentang prinsip-prinsip baik atau moral, dan mana yang tidak. Inilah arti dari
rumusan imperatif kategoris itu, “bertindaklah sesuai dengan kewajiban kita bila
kita bertindak menurut prinsip-prinsip yang sekaligus dapat kita kehendaki
berlakunya, dan menjadi hukum pada umumnya. Secara singkat disebut PRINSIP
PENGUNIVERSALISASIAN.
Prinsip
ini menimbulkan suatu pertanyaan mengenai dasar manusia untuk dapat bertindak
sesuai dengan imperatif kategoris. Jawaban atas pertanyaan ini adalah Otonomi
Kehendak. Otonomi Kehendak berarti bahwa kehendak sendiri memberikan hukum.
Prinsip ini diawali Kant dengan menyingkirkan semua prinsip (maxim) dari
kehendak yang tidak moral, bersifat Heteronom. Arti menyingkirkan prinsip lain
ini adalah di sini kehendak berhadapan dengan hukum yang bukan hukumnya
sendiri. Disini termasuk perasaan enak dan tidak enak, dan melakukan tindakan
karena tunduk pada pihak lain. Kehendak otonom adalah kehendak yang semata-mata
ditentukan oleh bentuk prinsip-prinsipnya. Kehendak Otonom hanya mengakui diri
dibawah keharusan yang berasal dari hukum atau kewajiban yang disadari dan
diakuinya sendiri sebagai hukum dan kewajibannya. Menyadari sesuatu sebagai
kewajiban adalah sudah sepatutnya saya lakukan. Maka kewajiban itu saya yakini,
dan dengan demikian bukan berasal dari luar.
Immanuel
Kant meyakini bahwa pembuktian kenyataan moralitas ini tidak bersifat teoritis,
melainkan praktis.[16]
Dalam tindakan prakteknya, tindakan itu harus disertai oleh kesadaran moral.
Kesadaran itu adalah fakta, namun bukan empiris. Ia bersifat fakta moralitis
karena ada dalam kesadaran kita atau yang biasa disebut hati atau hati nurani.
Dapat dikatakan dalam hidupnya orang dapat melawan kata hatinya, namun yang tak
dapat disangkal adalah bahwa ia berhadapan dengan kontradiksi. Orang lain
berharap mempercayai penyangkalannya, dengan harapan bahwa kita mengakui bahwa
ia tidak berbohong dan hal itu mengandaikan bahwa ia sadar ada kewajiban mutlak
untuk tidak berbohong.
VI.
Refleksi Kritis Tentang Etika Immanuel Kant
Sebagai sebuah teori yang dapat mengajar orang untuk berpikir, menggunakan
rasionya dalam menentukan arah tindakannya, ajaran etika menjadi ajaran yang
mampu membuka mata manusia untuk mempertanggungjawabkan sikap
moralnya. Sebagai filsafat, etika
mempersoalkan cara norma-norma dan nilai-nilai serta pernyataan-pernyataan yang
bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi.
Selain itu persoalan yang muncul
adalah pandangan bahwa hukum
moral itu hanya bersifat a priori yang terkait dengan prinsip otonomi. Bila
moralitas semata-mata didasarkan atas tingkah-laku lahiriah milik saya atau
orang lain, maka manusia itu akan terdorong pada daya tarik
dari orang-orang
yang bertingkah laku baik.
Berkenaan dengan filsafat moral, Immanuel Kant mampu menorehkan ide-ide
filsafat moralnya yang menyentuh realitas hidup manusia. Ajaran Immanuel Kant tentang
etika dalam imperatif kategoris mempunyai dasar penting yang menjadi prinsip manusia
dalam berpikir yang berguna pada suatu
tindakan yang keluar dari diri manusia. Manusia sebagai pribadi yang bernilai
mutlak dan bermartabat pada dirinya sendiri adalah salah satu pokok penting
dalam ajaran Kant mengenai Imperatif kategoris. Manusia yang bernilai dan
bermartabat juga dapat ditelusuri dengan melihat jejak-jejak tindakannya.
Memaksakan sikap moral berarti
merendahkan martabat manusia sebagai makhluk moral. Maka dalam realitas ini,
orang akan sungguh dihargai kemanusiaannya jika orang tersebut bertindak pada
jalur yang benar.
Pemikiran yang berilian
dari seorang Immanuel Kant mengenai etikanya ini, terutama dalam imperatif
kategoris menghantar kita untuk mengetahui hakekat moral itu yang adalah
kesadaran akan kewajiban (kewajiban yang mutlak). Hal ini dapat membingungkan
para pembaca mengenai kewajiban mutlak itu. Tampaknya pemikiran Kant sangat
memaksa dan berlebihan kerasnya. Kesadaran akan kewajiban dapat dipahami dengan
menolak perbuatan yang semata-mata karena perasaan. Kita tidak dapat menilai
orang lain kalau ia baik sekedar karena senang melihat rekan bisnisnya, dan
menjadikannya mitra dalam usahanya. Untuk menilai dia sebagai pribadi baik,
kita juga akan memeriksa bagaimana ia bertindak apabila tidak senang terhadap
asistennya.
Imperatif hipotetis bukanlah perintah moral sehingga perbuatan yang diperintahkannya
bukanlah perintah moral. Imannuel Kant sendiri mengatakan bahwa tindakan yang
dilakukan demi kebahagiaan adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri manusia
berdasarkan keharusan kodratnya. Pada kenyataanya kebahagiaan diinginkan oleh
setiap orang. Imperatif hipotetis dibedakan dan dipertentangkan dengan
imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah perintah yang memberitahu kita
bagaimana mencapai tujuan tertentu yang kita inginkan.
Imannuel Kant menolak imperatif hipotetis sebagai perintah moral. Alasannya
karena hakikat dan nilai moral diletakkan pada sesuatu yang berbeda diluar
kehendak makhluk berbudi, contohnya: rasa kasihan yang merupakan kecenderungan
empiris. Nilai moral ditentukan oleh kewajiban sebagai sesuatu yang dikehendaki
diri sendiri dan semua itu berasal dari dalam dirinya. Kita bisa mengambil sebuah contoh imperatif hipotetis
yang memerintahkan seseorang untuk bertindak demi
kebahagiaan tetapi tidak memiliki nilai moral. Sudah barang tentu semua itu
tidak sesuai dengan moral karena menghalalkan segala cara demi meraih
kebahagiaan.
Dalam imperatif hipotetis, kebahagiaaan adalah terpuaskannya semua dorongan dan kecenderungan manusia dibidang
empiris, tetapi karena hanya menyangkut dorongan dibidang empiris, maka sifat
kebahagiaan adalah relatif. Sedangkan yang dituntut oleh hukum moral adalah
keharusan yang bersifat mutlak. Mutlak
berarti bahwa kewajiban moral tidak berlaku asal menguntungkan, asal memuaskan
perasaan, dan asal cocok dengan pendapat orang lain. Dengan ini Kant sebenarnya
bermaksud menolak dan menutup pintu gerbang eudamonisme ala Aristoteles maupun
etika hedonisme ala Epikurus.
VII.
Penutup
Berdasarkan uraian
mengenai ajaran Kant tentang etika, kiranya kita bisa menarik beberapa hal yang
menjadi inti dari ajaran Kant tentang etika. Pertama, bagi Kant etika kewajiban
menjadi dasar tindakan moral dan moralitas merupakan kesesuaian antara sifat
dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kedua, kewajiban
yang menjadi dasar tindakan moral memiliki dua Kriteria yang disebut dengan
imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis merupakan
perintah bersyarat, artinya suatu tindakan diperlukan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak
bersyarat.
Baik bagi kita untuk
merubah kebiasaan yang mungkin selama ini kita sadari sebagai imperatif
hipotetis. Hanya bertindak demi mendapatkan sesuatu yang hendak dicapai tanpa
memperhatikan nilai moral yang terkandung didalamnya. Kant menawarkan kepada
kita mengenai kewajiban yang menuntun kita untuk bertindak berdasarkan
kewajiban mutlak dalam diri kita. Tampaknya sangat keras, dan memang keras,
karena didalamnya tidak mengandung unsur suka dan tidak suka, benci dan tidak
benci, cinta dan tidak cinta melainkan pada kebaikan mutlak dalam dirinya.
Daftar Pustaka
Budi,
Hardiman F. Filsafat dari Macchiavelli
sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Magnis-Suseno,
Frans. 13 TokohEetika: Sejak Jaman Yunani
Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
----------. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
O’
Colins, Gerald dan Edwar G. Farrugia. Kamus
Teologi (judul asli: A Consice
Dictionary
of Theology ). Diterjemahkan oleh I. Suharyo.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Tjahjadi, S. P.
Lili. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika
dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.
-----------. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
[1]
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris
(Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 25.
[2] Pietisme adalah gerakan
kebangkitan dalam Protestantisme yang dirintis oleh Philipp Jakob Spener
(1635-1705) yang menekankan doa, pembacaan Kitab Suci, pengalaman religius, dan
kehidupan Kristiani yang yang sungguh-sungguh dalam komunitas-komunitas kecil.
Gerakan ini muncul sebagi reaksi untuk melawan ortodoksi formal Gerejawi resmi
yang amat kuat. Pietisme juga mendorong munculnya metodisme dan mempunyai
pengaruh pada ahli-ahli teologi seperti Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
(1768-1834). [ Lihat Gerald O’Colins dan Edwar G. Farrugia, Kamus Teologi
(judul asli: A Consice Dictionary of
Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.
256.]
[3]
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral…, hlm. 26.
[4] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral…, hlm. 29-35.
[5] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral …, hlm. 46.
[7] S.P. Lili. Tjhajadi, Petualangan …, hlm. 289.
[8] S. P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral …, hlm. 74.
[9] S. P. Lili. Tjahjadi, Hukum Moral…, hlm. 70.
[10] S. P. Lili. Tjahjadi, Hukum
Moral…, hlm. 76.
[11] Kant membedakan ‘perintah’dan
‘imperatif’. Perintah adalah asas obyektif sejauh mengharuskan kehendak
subjektif, sedangkan imperatif adalah bentuk putusan dari perintah, dirumuskan
‘seharusnya’ (sollen). [Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 147.]
[12] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai
Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 145.
[13] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika …, hlm. 147.
[14] Maxim adalah perintah subjektif
dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan
tindakan – tindakan konkret. Maxim bukan segala macam pertimbangan. Maksim
adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud
dan tindakan konkret. [Lihat Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika …, hlm. 147
[15]
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh
Etika …, hlm. 147; bdk. Otfried Höffe (ed), Einführung in die utilitaristische Ethik. Klassische und
zeitgenössische Texte (München: Beck, 1975), hlm. 187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar