Selasa, 04 September 2012

Batik Dalam Budaya Jawa



BATIK DALAM BUDAYA JAWA

I. PENGANTAR
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang kaya akan budaya. Tiap-    tiap daerah memiliki karya seni yang berbeda. Salah satu karya seni yang terkenal dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia adalah batik[1]. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya jawa) sejak lama.
Batik merupakan warisan leluhur yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia. Keindahan motif dan corak batik, serta pembuatannya yang sangat khas, membuat karya seni ini semakin populer baik untuk masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia. Batik yang awalnya hanya dipakai oleh kalangan kerajaan, kini sudah dipakai banyak orang dan digunakan pada lambang-lambang institusi pemerintahan. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.

II. SEKILAS PANDANG TENTANG ORANG JAWA
Orang Jawa dianggap keturunan dari orang-orang Melayu.[2] Orang-orang melayu bermata pencaharian sebagai petani untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka sudah mengenal persawahan dan tetap bertahan sampai sekarang. Dahulu masyarakat Jawa banyak tinggal di desa. Desa tersebut diketuai oleh seorang kepala desa (pamong). Keagamaan orang-orang desa (Jawa) percaya bahwa apa saja (batu, pohon, dsb) memiliki jiwa dan kekuatan-kekuatan. Kepercayaan asli orang Jawa adalah kejawen (percaya akan adanya roh-roh dalam benda-benda yang dianggap sakral).  
Pulau Jawa merupakan salah satu dari kepulauan Indonesia. Masyarakat jawa tidak lepas dari pengelompokan etnis. Pengelompokan orang jawa dibagi menjadi dua yaitu Priyayi dan Wong Cilik.[3] Kaum Priyayi mayoritas berada di kalangan atas, hidup yang serba kecukupan dan mempunyai lapangan pekerjaan yang cukup mapan. Pekerjaan yang digeluti oleh kaum Priyayi ini cukup bervariasi dan tidak jarang mereka menjadi seorang pemimpin desa.
Wong cilik (orang kecil) merupakan kelompok masyarakat jawa yang hidup di kalangan menengah ke bawah. Cara hidup mereka sungguh berbeda dengan cara hidup kaum Priyayi. Cara hidup yang sederhana lebih menonjol dalam kehidupan kelompok wong cilik ini. Kelompok ini banyak berkecimpung dalam bidang pertanian dan buruh. Pemasukan yang didapat oleh wong cilik ini tergolong rendah.
Ada pula kelompok orang jawa yang paling tinggi tingkatannya yaitu kaum ningrat. Kaum ningrat ini sering disebut ndara. Gaya hidup kaum ningrat sama dengan gaya hidup kaum priyayi. Namun mereka sedikit lebih tinggi. Orang Jawa tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Orang Jawa mayoritas berasal dari pulau Jawa.

III. LATAR BELAKANG SEJARAH
Kesenian batik merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Beberapa motif batik dapat juga menunjukkan status seseorang.  
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Kesenian batik mulai meluas dan menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Bahan kain putih yang dipergunakan adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia pertama atau sekitar tahun 1920.[4]
            Dalam sejarah perkembangannya, corak-corak lukisan binatang dan tanaman pada batik, lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.
Pemakaian busana batik dalam tradisi Jawa memiliki dua fungsi yaitu fungsi religius dan fungsi sosial. Sebagai fungsi religius Batik merupakan busana resmi keagamaan. Upacara keagamaan kesultanan menampilkan para sultan sebagai sosok pemimpin agama sekaligus menampilkan fungsi batik sebagai pakaian keagamaan, misalnya dalam upacara grebeg[5]. Selain berfungsi sebagai pakaian religius, batik juga memiliki fungsi sosial sebagaimana terdapat dalam acara tradisional. Batik menampilkan nilai penghormatan terhadap orang lain. Nilai penghormatan ini ditampilkan dalam busana keprabon (kraton) yang dikenakan sultan saat menerima tamu yang kedudukannya sama atau lebih tinggi. Dalam upacara-upacara lingkup kraton, batik menjadi pakaian yang resmi bagi para tamu dan tuan rumah.
Seni Batik tetap hidup subur di Indonesia dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat. Bila kita bandingkan batik yang kita kenal sekarang dengan batik puluhan tahun yang silam, tidak begitu banyak perubahan; baik bahan, cara maupun coraknya. Sifat inilah yang menyebabkan seni batik mudah dipelajari, dari generasi ke generasi.
            Membatik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Batik tulis merupakan jenis batik yang dibuat dengan menggunakan ketrampilan tangan. Batik tulis dikerjakan oleh orang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi dan biasanya pembatik memiliki keinginan memelihara batik agar tetap eksis. Batik tulis mampu bertahan dan tetap terpelihara hingga sekarang karena proses pengerjaannya yang tidak sederhana dan pembatik sendiri tetap memperhatikan kualitas batik itu. Bahan-bahan yang digunakan pun masih alami. Inilah sebabnya batik tulis tetap terpelihara dan mampu bersaing dalam pasar.
Batik tulis berbeda dengan batik cap yang muncul kemudian setelah batik tulis. Batik tulis lahir seiring dengan perkembangan zaman. Proses pembuatannya pun tidak lagi menggunakan alat-alat tradisional. Bila dibandingkan dengan batik tulis, pengerjaan batik cap jauh lebih cepat dan bahan-bahan yang digunakan pun sebagian besar tidak menggunakan bahan alami lagi. Walaupun demikian, keberadaan batik cap tidak menggugurkan keberadaan batik tulis dalam pasar. Kedua jenis batik ini tetap diminati, walaupun batik cap lebih dikenal jauh ekonomis dibandingkan dengan batik tulis. Kedua jenis batik ini tetap dikenal masyarakat Indonesia bahkan internasional. 
Pada dasarnya batik tetap terpelihara karena melalui proses turun-menurun, misalnya seperti ibu kepada anaknya. Sekarang batik mulai banyak diperkenalkan, baik masyarakat Indonesia secara khusus maupun masyarakat luar (bangsa asing) secara umum. Dengan demikian batik tidak hanya dikenal dalam negeri saja, tetapi meluas sampai ke luar negeri.

IV. ISI
A.  Cara Membuat Batik
Cita rasa, kehendak (itikad yang baik) serta kemampuan akal (intelektual) yang tinggi terkandung dalam proses pembuatan batik.[6] Dalam proses pembuatannya, dibagi menjadi dua yaitu:
1. Bahan-bahan yang digunakan[7]
Dilihat dari cara kerja pembuatannya, batik dapat digolongkan sebagai pekerjaan yang tradisional. Alat-alat yang digunakan untuk membatik pun masih tradisional. Sejak awal, peralatan yang digunakan untuk membatik, belum mengalami banyak perubahan. Bahan-bahan yang digunakan itu antara lain: 

a.  Gawang
Gawangan adalah perkakas untuk menyangkutkan dan membentangkan mori, saat mori itu dibatik. Gawangan terbuat dari kayu, atau bambu. Gawangan harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dipindah-pindah, tetapi harus kuat dan ringan.

b.    Bandul
Bandul terbuat dari timah, kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul adalah untuk menahan mori yang baru dibatik, agar tidak mudah tergesar tertiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak sengaja.

c.    Wajan (kuali)
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan “malam”. Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa menggunakan alat lain.

d.   Kompor
Kompor adalah alat untuk membuat api. Kompor yang biasa digunakan adalah kompor dengan bahan bakar minyak.

e.    Taplak
Taplak ialah kain untuk menutup paha si pembantik supaya tidak terkena tetesan “malam” panas sewaktu canting ditiup, atau waktu membatik.

f. Saringan “malam”
Saringan ialah alat untuk menyaring “malam” panas yang banyak kotorannya. Jika “malam” disaring, maka kotoran dapat dibuang sehingga tidak mengganggu jalannya “malam” pada cucuk canting sewaktu dipergunakan untuk membatik.

g. Canting
Canting adalah alat yang digunakan untuk memindahkan atau mengambil cairan. Canting untuk membatik adalah alat kecil yang terbuat dari tembaga dan bambu sebagai pegangannya. Canting ini digunakan untuk menuliskan pola batik dengan cairan lilin. Sebelum bahan plastik banyak digunakan sebagai perlengkapan rumah tangga, canting yang terbuat dari tempurung kelapa banyak dipakai sebagai salah satu perlengkapan dapur sebagai gayung. Dewasa ini canting tempurung kelapa sudah jarang terlihat lagi karena digantikan bahan lain seperti plastik.

h. Mori
Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kain mori memiliki kualitas yang bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan kualitas kain batik yang dihasilkan. Mori yang dibutuhkan sesuai dengan panjang pendeknya kain yang dikehendaki. Ukuran panjang pendeknya mori biasanya tidak menurut standar yang pasti, tetapi dengan ukuran tradisional. Ukuran tradisional tersebut dinamakan “kacu”. Kacu ialah sapu tangan, biasanya berbentuk bujur sangkar. Maka yang disebut “sekacu” ialah ukuran perseginya mori, diambil dari ukuran lebar mori tersebut. Jadi panjang sekacu dari suatu jenis mori akan berbeda dengan panjang sekacu dari mori jenis lain.

i. Lilin (“Malam”)    
Lilin atau “malam” ialah bahan yang digunakan untuk membatik. Sebenarnya “malam” tidak habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali pada proses pengerokan, proses pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain. “Malam” yang dipergunakan untuk membatik berbeda dengan malam atau lilin biasa. Malam untuk membatik bersifat cepat menyerap pada kain tetapi dapat dengan mudah lepas ketika proses pengerokan.

j. Pola
Pola ialah suatu motif batik dalam mori ukuran tertentu sebagai contoh motif batik yang akan dibuat.Ukuran pola ada dua macam. Pola A ialah pola yang panjangnya selebar mori. Pola B ialah pola yang panjangnya sepertiga mori, atau sepertiga panjang pola A. jika pola A 1/4 kacu, pola B 1/12 kacu; Pola A 1/2 kacu, pola B 1/6 kacu. Yang dimaksud pola 1/4, 1/2 atau 1/3 kacu ialah lebar pola 1/4, 1/2, atau 1/3 ukuran sebuah sisi sekacu mori. Tetapi ukuran pola A dan B sering tidak seperti yang dikatakan di atas, karena masing-masing tidak digunakan dalam selembar mori, atau karena ukuran lebar mori tidak selalu sama.

2.      Proses pengolahan kain dan pembatikan
Cara pemberian warna pada batik sudah terkenal sejak abad ke-8.[8] Sebelum mulai membatik, kain yang akan digunakan untuk membatik perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan kain utuk membatik ada beberapa langkah. Langkah-langkah itu antara lain[9]:
  1. Pencucian
Kain mori yang akan digunakan untuk membatik dicuci terlebih dahulu. Pencucian kain mori ini bertujuan untuk membersihkan kain dari kotoran-kotoran yang menempel di kain mori. Selain itu pencucian kain mori juga bertujuan untuk menghilangkan bahan yang membuat kain menjadi kaku.
Air yang digunakan untuk mencuci kain mori ini adalah air bersih. Kemudian kain yang telah dicuci, dibilas berulang-ulang kali. Kain yang sudah bersih, kemudian dilakukan proses berikutnya yaitu penganjian.

  1. Pengkanjian
Kain yang sudah bersih dimasukkan dalam sebuah larutan kanji. Proses pelarutan kanji harus dilakukan dengan hati-hati. Larutan kanji tidak terlalu pekat dan juga tidak terlalu encer. Larutan kanji yang terlalu pekat akan mengakibatkan bahan untuk membuat gambar pada batik, sukar untuk menempel di kain. Namun apabila larutan kanji terlalu encer maka akan mengakibatkan gambar menjadi pecah dan memudar. Proses pengkanjian berguna untuk membuat kain menjadi lebih kaku dan mempermudah proses penggambaran motif batik.

  1. Pengemplongan
Kain yang telah kering tadi kemudian digulung, ditempatkan di atas kayu yang halus, panjangnya kira-kira 1 meter dan kain tersebut dipukul-pukul dengan menggunakan palu atau kayu. Agar kain tersebut tidak kotor, sebaiknya dibungkus dengan kain putih. Kain itu dipukul-pukul hingga terasa halus, dan tidak boleh disetrika, sebab kain yang disetrika akan tertarik dan akan merusak batikan kita.

  1. Penglowongan
Proses selanjutnya adalah membuat motif dasar dari gambaran batik. Ada dua cara untuk menggambar motif dasar batik yaitu dengan menggunakan canting atau cap batik. Motif yang digambar sesuai dengan yang dikehendaki. Penggambaran ini dapat pula menggunakan pensil.[10]

  1. Pembatikan
Cairan untuk membatik didapat dari malam yang telah dipanaskan. Malam yang telah dipersiapkan kemudian dipanaskan dengan memasaknya di atas kuali. Malam yang telah mencair diambil sedikit demi sedikit dengan menggunakan canting.[11]

  1. Penembokan
Dalam membatik terkadang kita menggunakan warna putih atau warna yang sama dengan kain dasar. Penembokan merupakan proses untuk memblok bagian kain yang nantinya akan berwarna putih. Pemblokan ini menggunakan malam khusus, agar pewarna di sekitarnya tidak merembes ke bagian kain yang ingin diberi warna putih. Apabila proses penembokan ini kurang cermat atau bahan yang digunakan untuk penembokan kurang baik maka kain itu akan menjadi kotor dan kurang rapi. Bahan untuk menembok berasal dari pecahan dari lilin yang agak mengeras. Pekerjaan ini tidak hanya di bagian luar tetapi juga dikerjakan di sisi dalam kain pada batik yang halus.

  1. Pemedelan
Pemedelan merupakan salah satu proses untuk mewarnai kain yang telah diberi motif dasar. Proses pewarnaan pada batik masih menggunakan bahan yang daimbil dari alam (alami), misalnya: nabati, tumbuh-tumbuhan, akar dan lain sebagainya.[12] Untuk mendapat hasil yang memuaskan pemberian ini harus merata. Zat wedal ini cukup lama meresap dalam kain mori. Maka pekerjaan ini harus dilakukan berulang-ulang kali.
Masing-masing tukang celup atau pengusaha batik mempunyai rahasia ramuannya sendiri-sendiri yang diwariskan turun-temurun. Berbagai bahan dimasukkan ke dalam jambangan celup untuk menambah proses ‘peragian’ (seperti : gula kelapa, tapai, pisang kelutuk, sampai dengan potongan-potongan daging ayam). Semuanya untuk menambah sinar serta gemilangnya warna biru nila yang sampai sekarang belum terkalahkan indahnya. Sekarang ini, sebagai akibat pemakaian zat warna kimia, sifat misterius serta romantika pencelupan telah banyak hilang. Mencelup dengan naphtol atau obat anthrasol memakan waktu hanya sebentar saja tanpa adanya sifat-sifat khas. Oleh karena itulah, proses batik tradisional masih sepenuhnya dikerjakan dengan tangan.[13]
Di zaman yang lebih modern ini, zat pewarna yang digunakan adalah zat pewarna sintetis. Dengan zat ini, proses pemendelan menjadi lebih mudah. Warna biru yang digunakan pun banyak pilihan. Selain itu dengan zat ini proses pemendelan menjadi lebih cepat. Zat ini mempunyai kelemahan. Kelemahan dari zat sintetis ini adalah tidak tahan lama.

  1. Pengerokan
Pengerokan merupakan proses membuang bagian-bagian malam batik yang menempel pada kain mori, setelah proses pemendelan. Motif batik yang ingin diberi warna coklat hendaknya dikerok terlebih dahulu. Pengerokan ini hanya menggunakan alat yang sederhana yaitu pisau. Dalam hal ini seorang pengerok harus bekerja dengan teliti, baik bagian yang dikerok maupun yang tidak di kerok. Hal ini dilakukan agar motif tidak menjadi rusak atu tidak sesuai.

  1. Penyogaan
Dalam pembuatan batik, orang sering menggunakan warna coklat. Pewarna coklat berasal dari ramuan kulit pohon soga. Kulit pohon ini direbus dan airnya digunakan untuk pewarna batik. Cairan ini lambat untuk meresap sehingga harus dilakukan secara berulang-ulang. Proses pemberian warna coklat sangatlah lama.

  1. Pengelorodan
Pengelorodan merupakan proses pelepasan malam batik, yang digunakan untuk menembok, yang menempel pada kain. Cara pengelorodan adalah dengan merendam kain batik pada air mendidih. Selain itu kain batik juga digosok-gosok dengan menggunakan kayu agar tidak terlalu panas.

B.     MAKNA SIMBOLIS BATIK DALAM BUDAYA JAWA
            Kain batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang sangat berharga. Batik merupakan karya seni yang bernilai tinggi dan memiliki banyak makna di dalam setiap gambarnya. Ada banyak motif batik warisan leluhur dengan sejuta arti, nilai filosofis dan pengharapan di dalamnya. Sehelai kain batik dapat mengungkapkan status sosial, lingkungan dimana berasal, sejarah budaya. Batik tidak hanya menampilkan keindahan bentuk secara kasat mata melainkan juga menyimpan kedalaman spiritual yang dipancarkan melalui motif-motifnya yang “sakral”.[14]
Salah satu motif yang populer adalah parang. Ada berbagai jenis parang dan masing masing memiliki arti yang berbeda-beda. Parang merupakan simbol dari ombak samudera yang menggambarkan semangat dan energi yang tiada henti, motif ini hanya boleh dikenakan untuk kasta prajurit dan adipati keatas.
Motif Parang Rusak[15] diciptakan oleh Panembahan Senopati, ia adalah pendiri Kerajaan Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Panembahan Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Hingga pada akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan sebutan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak Laut Selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.
Motif Parang Rusak Barong diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas, kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata “barong” berarti sesuatu yang besar dan hal ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut.
Pola Barong pada jaman dahulu hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Motif Parang Barong mempunyai makna agar seorang raja selalu behati-hati dan dapat mengendalikan diri. Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya merupakan pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”. Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat energi alam.
Komposisi miring pada parang juga melambangkan kewibawaan, keagungan, kekuasaan, dan gerak cepat sehingga pemakainya diharapkan sigap dalam melakukan tugas dan pekerjaannya. Motif Parang sesungguhnya menggambarkan kekuasaan dan senjata. Selaras dengan makna yang ada dalam motif Parang Barong, maka Ksatria yang menggunakan batik ini bisa memiliki tenaga yang berlipat ganda.
Kain batik yang digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa saat ini, seperti motif kain batik: Ukel, Semen Rama, Semen Raja. Motif-motif ini pada awalnya hanya dikenakan oleh keluarga kesultanan dan digunakan dalam kesempatan tertentu saja. Dalam perkembangan selanjutnya pembatasan itu menjadi pudar. Banyak dari keluarga orang yang bersetatus tinggi dan orang kaya di Indonesia juga ingin meniru apa yang terjadi dalam keluarga kesultanan.
Pembatasan yang pada awalnya begitu ketat, tidak dapat mengatasi masuknya pengaruh luar yang begitu gencar. Seperti dapat kita lihat saat ini, banyak upacara pernikahan adat Jawa dalam  masyarakat Indonesia menggunakan upacara pernikahan adat keraton  dengan perlengkapan dan tahapan upacara yang cukup lengkap. Bahkan beberapa motif batik tradisional yang biasanya hanya dipakai oleh keluarga keraton baik dari keraton Yogyakarta  maupun dari keraton Surakarta lambat laun juga sudah mulai bisa dimiliki oleh setiap orang yang ingin memilikinya.[16]

C. FILOSOFI BATIK
Tradisi Kejawen yang mengajarkan falsafah Jawa juga turut  memberikan banyak masukan dalam penciptaan motif-motif batik. Falsafah Jawa juga berfungsi untuk meraih kebesaran dan kemuliaan dalam hidup ini, juga dapat digunakan untuk mempermudah penciptaan motif kain batik. Hal ini bisa dimengerti karena untuk mencapai kebesaran dan kemuliaan yang selalu dirindukan oleh manusia, orang percaya bahwa hal ini akan  bisa dicapai dengan mengolah jati diri. Misalnya melalui jalan meditasi dan upacara mistik (bertapa). Makna meditasi yang bisa dipetik adalah dapat  dicapainya ketentraman batin dan kedamaian hati seseorang serta  keheningan suasana di sekitarnya. Semuanya itu merupakan sikap yang tepat dalam pemilihan dan penciptaan suatu motif batik.
Agar motif batik sesuai dengan makna yang diharapkan oleh pemikinya, terkadang disertai upacara mistik. Upacara ini bisa dilakukan misalnya dengan pemanjatan doa. Ritual ini biasanya dilakukan dengan bimbingan para “Guru” dalam bidang Kejawen, sehingga nilai sakral dan magis bisa tersirat dalam motif yang ada dan terlihat ketika dikenakan oleh pemiliknya. Berapa lama dan perbuatan mana yang harus dikerjakan seseorang sebelum ditemukan motifnya, sangat bergantung pada pembatik dan calon pemakainya sendiri. Jadi dalam hal ini setidaknya harus ada kerja sama di antara keduanya. Tentang peran pembatik biasanya menjadi semakin menyatu dengan perasaan dan harapan pemakainya dan hal ini diwujudkan dalam bentuk atau lukisan motif dalam batik itu.
Patron motif batik klasik pada awalnya hanya ada dalam pikiran  pembatik. Motif-motif  dalam batik klasik sering kali diungkapkan dalam bentuk yang abstrak. Daya khayal pembatik dalam menggambarkan sebuah motif sangat mempengaruhi hasil akhir motif. Karena itu pula maka hampir tidak pernah terjadi ada  dua kain panjang batik  dengan satu  motif batik, yang hasilnya sama dan serupa. Warna dalam motif batik banyak mengacu pada warna yang bisa memberikan atau menimbulkan informasi berbagai rasa bagi pemakainya dan yang melihatnya. Warna dasar motif batik klasik Jawa pada awalnya dapat kita temukan sebagai berikut:

1.                  Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi atau tumbuh sebagai lambang kemakmuran, kesuburan, dan alam semesta. 
2.                  Motif Udan Liris[17] termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak. Secara keseluruhan, motif yang juga tersusun dari motif Banji, Setengah Kawung, Lidah Api, Sawut, Tritis, Mlinjon, dan Untu Walang yang diatur diagonal memanjang mempunyai makna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.
3.                  Motif Cemungkiran yang berbentuk seperti lidah api dan sinar merupakan unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi, kehebatan, dan keagungan yang diibaratkan seperti Dewa Syiwa yang dalam masyaraka Jawa dipercaya menjelma dalam diri seorang raja sehingga hanya berhak dipakai oleh raja dan putra mahkota.
4.                  Wahyu Tumurun secara harafiah berarti “berkat Ilahi”. Motif ini adalah simbol kerinduan abadi manusia untuk berkat Allah dan pencerahan.[18] Kain Batik Wahyu Tumurun, kain batik ini sering pula dipilih sebagai busana pada upacara pernikahan adat Jawa Gaya Yogyakarta.[19] Wahyu Temurun merupakan kain batik yang di dalamnya terdiri dari motif utamanya adalah termasuk motif semen. Dari arti katanya, wahyu memiliki pengertian sebagai kebahagiaan anugrah Tuhan (Jawa: pulung nugrahaning Allah), yaitu anugrah yang dapat berupa pangkat, derajat, kedudukan, keuntungan, dan lain-lain kemuliaan yang menjadi bagian dari sumber kebahagiaan umat manusia. Wahyu Temurun sebagai kain batik yang dipergunakan dalam pernikahan memberikan makna dan harapan agar pemakai mendapatkan anugerah kebahagiaan dari Sang Maha Pencipta dikemudian hari.
5.                  Motif Lereng mempunyai simbol hujan gerimis. Dalam kosmologi Jawa hujan dikaitkan dengan kesuburan dan kekayaan yang melimpah.[20]
6.                  Motif Madu Bronto menyimbolkan seseorang yang sedang kasmaran.  Batik Madu Bronto dulu dikenakan oleh pria yang mau kencan atau bertandang ke tempat pacarnya. Jadi ketika orangtua perempuan melihat bajunya, mereka langsung tahu apa tujuan kedatangan pria tersebut. Motif ini juga sering dikenakan saat acara lamaran, atau pada sarasehan calon mempelai pria. Madu berarti manis, sedangkan Bronto berarti tarung. Jika digabungkan mengandung arti bertarung dalam manis

D. MAKNA WARNA PADA KAIN BATIK[21]
Warna dalam batik pada awalnya memiliki nilai yang simbolik. Pemilihan warna dalam motif batik dapat memberikan informasi tentang perasaan dan  harapan  pemakainya, karena dia yang memilih motif dan warnanya.
  1. Warna coklat melambangkan kerendahan hati, kesederhanan dan kehangatan bagi pemakainya.
  2. Warna biru tua melambangkan rasa ketenangan, kelembutan, keikhlasan dan rasa kesetiaan. Warna biru biasanya dapat kita temukan dalam motif batik klasik dari Yogyakarta.
  3. Warna putih melambangkan rasa ketidakbersalahan, kesucian, ketentraman hati dan keberanian serta sifat pemaaf  pemakainya.

E. MAKNA BATIK DALAM UPACARA-UPACARA YANG BERKAITAN DENGAN DAUR HIDUP MANUSIA.
1. Batik dalam Upacara Mitoni[22]
Disaat usia kehamilan pertama seorang ibu sudah berusia tujuh bulan, diadakan upacara mitoni dengan harapan agar sang bayi nantinya lahir dengan selamat, lancar dan dalam tumbuh kembangnya menjadi manusia yang baik, berbudi luhur dan bertakwa kepada Tuhan YME, bermanfaat bagi sesama dan alam lingkungannya.  Batik yang digunakan dalam acara mitoni antara lain batik sidomukti, sida asih, sida luhur, sida mulya, sida Batik untuk Kopohan, Gendongan, Emban-emban. Motif-motif  batik dalam upacara mitoni antara lain:

a. Motif Truntum
Motif Truntum mengandung makna tumbuh dan berkembang. Demikianlah, orang Jawa selalu mendambakan bagi setiap keluarga baru supaya segera mempunyai keturunan yang akan dapat menggantikan generasi sebelumnya. Generasi baru itulah yang akan menjadi tumpuan setiap keluarga baru yang baru menikah untuk meneruskan segala harapan dan cita-cita keluarga sekaligus sebagai generasi penerus secara biologis yang mewarisi sifat-sifat keturunan dari sebuah keluarga baru. Harapan itu selalu muncul saat keluarga baru terbentuk. Sebab memang dari keluarga baru itulah diharapkan akan berkembang keluarga-keluarga baru lainnya. Sementara sumber lain mengatakan bahwa motif truntum ini awal mulanya diciptakan oleh kerabat kerajaan Surakarta yang sedang sedih hatinya karena merasa diabaikan oleh raja. Di tengah kesendirian itulah ia melihat di langit di tengah malam banyak bintang gemerlap menemani dirinya dalam kesepian. Insipirasi itulah yang ditangkap dan dituangkan dalam motif batik.

  b. Motif Sidaluhur
Motif Sidaluhur mengandung makna keluhuran. Bagi orang Jawa, hidup memang untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat, maupun profesinya. Keluhuran materi yang diperoleh dengan cara yang benar, halal, dan sah tanpa melakukan kecurangan atau perbuatan yang tercela seperti korupsi, merampok, mencuri, dan sebagainya. Sebab walaupun secara materi merasa cukup atau bahkan berlebihan, namun jika harta materi itu diperoleh secara tidak benar, tidak halal, itu tidak bisa dikatakan bisa mencapai keluhuran secara materi. Keluhuran materi akan lebih bermakna lagi apabila harta yang dimiliki itu bermanfaat bagi orang lain dan bisa diberikan dalam berbagai bentuk seperti sumbangan, donasi, hibah, dan sebagainya. Sementara keluhuran budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Orang yang bisa dipercaya oleh orang lain, atau perkataannya sangat bermanfaat kepada orang lain tentu itu akan lebih baik daripada perkataannya tidak bisa dipegang orang lain dan tidak dipercaya orang lain. Orang yang sudah bisa dipercaya oleh orang lain adalah suatu bentuk keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran

  c. Motif Sidamukti.  
Motif Sidamukti mengandung makna kemakmuran. Demikianlah bagi orang Jawa, ahidup yang didambakan selain keluhuran budi, ucapan, dan tindakan, tentu agar hidup akhirnya dapat mencapai mukti atau makmur baik di dunia maupun di akhirat. Orang hidup di dunia adalah mencari kemakmuran dan ketentraman lahir dan batin. Untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman itu niscaya akan tercapai jika tanpa usaha dan kerja keras, keluhuran budi, ucapan, dan tindakan. Namun untuk mencapai itu semua tentu tidaklah mudah. Setiap orang harus bisa mengendalikan hawa nafsu, mengurangi kesenangan, menggunjing tetangga, berbuat baik tanpa merugikan orang lain, dan sebagainya, agar dirinya merasa makmur lahir batin. Kehidupan untuk mencapai kemakmuran lahir dan batin itulah yang juga menjadi salah satu dambaan masyarakat Jawa dan tentu juga secara universal.

2. Batik untuk Kopohan, Gendongan, Emban-emban
Kopohan berasal dari kata kopoh yang berarti basah kuyub. batik dalam kopohan digunakan sebagak alas saat bayi lahir dari rahim ibunya. dikemudian hari, bila anak sakit atau rewel, kain tersebut digunakan untuk menggendong dengan harapan agar sehat kembali. motof kain kopohan antara lain kawung, parang, truntum dan cakar. Sedangkan untuk menggendong placenta yang sudah diletakkan dalam kendhil sebelum dikubur atau dilarung menggunakan batik motif parang rusak (lingkungan keraton), sida mukti, semen rama, sida luhur, dan  wahyu tumurun. Batik untuk emban-emban atau menggendong bayi antara lain bermotif kawung, truntum, parang, semen sawat manah, sisik buntal, panji puro atau slimun.

3. Batik untuk acara tetesan, taraban dan Khitan
Tetesan (khitan untuk anak perempuan) dan khitan menggunakan batik bermotif kecil dan melambangkan kesegaran dan harapan menjadi orang yang berkepribadian baik, bahagia antara lain parang pamor dan parangkusumo. Untuk upacara taraban (pertama kali mendapatkan haid, 9-12 tahun) setelah gadis melakukan siraman, mengenakan batik motif parang cantel atau parang kusuma. Upacara masa anak-anak bagi pria diakhiri dengan upacara supitan (khitanan) pada usia 13-15 tahun. Bentuk busana supitan dipengaruhi oleh bentuk busana wayang orang. Di lingkungan kraton, untuk anak wanita upacara tetesan diselenggarakan untuk anak-anak yang berada dalam usia 6-8 tahun.[23]

4. Perkawinan
Acara perkawinan dimulai dengana cara melamar yang dilakukan oleh keluarga laki-laki mengenakan motif parang, lambang ketajaman rasa dan pikir. semen latar putih lambang kebaikan dan batik bermotif ceplok. setelah lamaran diterima dilakukan peningsetan sebagai tanda ikatan suami istri digunakan batik motif satriya manah untuk laki-laki dan semen rante untuk perempuan.

5. Batik dalam kematian.
ketika seorang jawa meninggal, sebelum dimakamkan, jenazah dilurupi/ ditutup menggunakan batik kesayangan almarhum atau motif kawung (simbol balik ke alam suwung = kembali ke alam kesunyian) atau slobog (dari kata lobok atau longgar) dengan harapan orang yang meninggal mempunyai kelapangan dan tidak menemui halangan ketika menghadap Sang Khalik.

V. PENUTUP
Kesenian batik merupakan warisan nenek moyang yang tetap terpelihara hingga sekarang. Batik ibarat cinta yang tumbuh dan berkembang senantiasa memberi dan memperkaya dunia. Kesenian ini menjadi kebanggaan  tersendiri bagi bangsa Indonesia. Makna dan filosofinya yang mendalam membuat batik diterima oleh banyak orang. Pada zaman modern sekarang ini batik tidak hanya dipakai oleh kalangan tertentu (keraton) melainkan sudah banyak diminati oleh banyak kaum muda. Pada hari Jumat tanggal 2 Oktober tahun 2009, Educational Scientific and Cultural Organisation (UNESCO), menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia. Hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh penduduk ini pun dijadikan sebagai Hari Batik.






















DAFTAR PUSTAKA


_____, Ensiklopedi Indonesia, I, Ichtiar Baru- Van Hove: Jakarta, 1980.

_____, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 3, PT Cipta Abdi Pustaka: Jakarta, 1989.

Kitley, Philip Thomas “Batik dan Kebudayaan Populer”, dalam Prisma, 1987.

Purnomo, Kartini “Simbolisme Batik Tradisional”, dalam Jurnal Filsafat. Jakarta:
Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, 1995.

Purwadi. Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.

Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 1985.

Suyanto, A. N. Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi,
2002.

Yayasan Harapan Kita-BP3. Batik, Jakarta: Yayasan Harapan Kita, 1997.

Astuti, Sribudi, Makna Batik dalam Kehidupan Manusia, http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/24/batik-sebagai-simbol-daur-hidup-manusia/, 24 Maret 2011

Meneropong Makna Spiritual Batik Jawa.  http://vieinstyle.com/batik/?p=131. 3 Maret 2011

Pratiwi, Dwi Astuti Maya. Makna Batik dalam Pernikahan Adat. Yogyakarta (Lanjutan), http://dunianyamaya.wordpress.com/2008/04/09/makna-batik-dalam-pernikahan-adat-yogyakarta-lanjutan/ .12 Maret 2011

Pulandar, Nunuk.  Arti dan Cerita di Balik Motif Batik Klasik Jawa,  http://baltyra.com/2011/03/23/arti-dan-cerita-di-balik-motif-batik-klasik-jawa-2/ i, 15 Maret 2011.









[1] Kata Batik berasal dari bahasa Jawa dari akar kata ”tik.” Kata ”tik” mempunyai pengertian berhubungan dengan suatu pekerjaan halus, lembut, kecil yang mengandung unsur keindahan. Batik adalah hasil penggambaran motif di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat penggambar dan malam sebagai zat perintang. [Lihat  Yayasan Harapan Kita-BP3, Batik, (Jakarta: Yayasan Harapan Kita, 1997), hlm. 14.]

[2] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 21.

[3] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa …, hlm. 12.

[5] Grebeg adalah upacara adat kraton yang dilaksanakan pada hari raya Islam, pada bulan besar, mulud dan syawal. Kata grebeg dalam bahasa Jawa sama dengan garebeg, gerbeg, bermakna: suara angin menderu. Kata dalam bahasa Jawa (h)anggarebeg, mengandung makna mengiringi raja, pembesar atau pengantin. [Lihat B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta (yogyakarta: kanisius, 1993), hlm. 9.]

[6] Kartini Purnomo, “Simbolisme Batik Tradisional”, dalam Jurnal Filsafat (Jakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, 1995), hlm. 30.

[8] _____, Ensiklopedi Indonesia, I (Ichtiar Baru- Van Hove: Jakarta, 1980), hlm. 418.

[9] _____, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 3 (PT Cipta Abdi Pustaka: Jakarta, 1989), hlm. 208.

[12] Philip Thomas Kitley, “Batik dan Kebudayaan Populer”, dalam Prisma, 5 (Mei 1987), hlm. 57.

[14] Meneropong Makna Spiritual Batik Jawa,  http://vieinstyle.com/batik/?p=131 , 3 Maret 2011.

 

[15] Motif Parang Rusak bergambarkan Parang yang bertekuk, berbentuk pedang yang tidak sempurna atau rusak. Motif Parang ini biasanya digunakan oleh ksatria atau penguasa. [Lihat Purwadi. Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), hlm. 65.]

[16] Philip Thomas Kitley, “Batik dan …, hlm. 54. 

[17] Motif ini melambangkan pertumbuhan dan perkembangan karena sesuai dengan namanya yang berarti hujan rintik-rintik yang bermanfaat menyembuhkan serta menghidupkan tumbuh-tumbuhan. [Lihat Yayasan Harapan Kita-BP3 Batik ..., hlm. 65.]

[18]  Hariyanto Atmojo, Traditional Batik of Kauman Solo (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka, 2009), hlm. 68.

            [19] Dwi Astuti Maya Pratiwi, Makna Batik dalam Pernikahan Adat Yogyakarta (Lanjutan), http://dunianyamaya.wordpress.com/2008/04/09/makna-batik-dalam-pernikahan-adat-yogyakarta-lanjutan/ , 12 Maret 2011.

[20] Hariyanto Atmojo, Traditional Batik ..., hlm. 78.

[21] Nunuk Pulandar,  Arti dan Cerita di Balik Motif Batik Klasik Jawa,  http://baltyra.com/2011/03/23/arti-dan-cerita-di-balik-motif-batik-klasik-jawa-2/ i, 15 Maret 2011.


[22] Sribudi Astuti, Makna Batik dalam Kehidupan Manusia, http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/24/batik-sebagai-simbol-daur-hidup-manusia/, 24 Maret 2011

[23] A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, (Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002), hlm. 38.