Selasa, 04 September 2012

Filsafat Sejati Berasal Dari Yesus Kristus



 

FILSAFAT SEJATI BERASAL DARI YESUS KRISTUS

Abstraksi
Filsafat sebagai ilmu yang mempersoalkan realitas telah membuka gerbang menuju jalan kebenaran yang sejati. Yustinus Martir merasa bahwa filsafat telah membantunya untuk memahami misteri Allah dalam diri Yesus sebagai rencana Ilahi dalam sejarah kehidupan manusia. Perjalanan filsafatnya ini memberikan kesaksian bagi kita atas usahanya untuk menginspirasi setiap manusia untuk mengenal Allah secara lebih mendalam.

I. PENGANTAR
                Zaman Filsafat Patristik dan Abad Pertengahan adalah zaman yang diisi penuh oleh kehidupan berbagai macam filsuf dan berbagai pemikiran mereka. Terkhusus dalam Filsafat Patristik nampaknya adalah  langkah awal untuk menuju ke masa Filsafat Abad Pertengahan yang biasa disebut juga sebagai masa skolastik[1]. Filsafat Patristik lahir dari Bapa-Bapa Gereja yang mulai berjuang untuk mempertahankan iman Kristiani. Pada masa itu orang-orang Kristen pada awalnya dan pada umumnya bukanlah orang-orang terpelajar. Orang-orang Kristen juga mengalami penganiayaan oleh sebab “dewa” baru yang disebut Yesus Kristus.
            Bapa-Bapa Gereja mulai memikirkan landasan iman akan Yesus Kristus sebagai pegangan umat Kristiani dan pembelaan iman atas sekelompok orang yang mencoba menggoyahkan pemahaman iman mereka. Pemikiran Bapa – Bapa Gereja ini juga dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh filsafat purba seperti Aristoteles dan Plato. Ada Bapa – Bapa Gereja yang juga menolak filsafat Yunani sebab Filsafat sebagai kecerdikan manusiawi belaka merupakan suatu yang berkelebihan saja, bahkan suatu bahaya yang mengancam kemurnian  iman Kristiani[2]. Bapa Gereja pertama yang digelari sebagai filsuf Kristen pertama adalah Yustinus Martir. Filsuf pertama ini mengutarakan pembelaan-pembelaan iman kepada orang sezamannya yang menyembah dewa-dewi. Akibat dari penyangkalan habis-habisannya ini. Yustinus dipenggal kepalanya dan sebutan martir memang pantas baginya sebab karya-karyanya yang pertama mewujudkan kegigihannya membela iman Kristiani.

II. YUSTINUS SEORANG APOLOGET[3]
            Yustinus Martir adalah seorang filsuf Kristen dan seorang apologet. Yustinus lahir kurang lebih tahun 100, dekat dengan Sikhem kuno di Samaria di Tanah Suci. Ayahnya bernama Priscus; dengan berbagai guru di Efesus dia belajar filsafat: Stoa, Peripatetik, Pythagoras dan akhirnya menganut platonic. Untuk sementara waktu ia mengajar filsafat Kristen di Efesus tapi segera pergi setelah tahun 135 M.  Selanjutnya dia muncul dan mengajar di rumahnya di Roma. Pada zaman Byzantine banyak karya beredar dalam namanya.[4]
            Yustinus Martir menggunakan seluruh hidupnya untuk mencari suatu kebenaran. Sebagai seorang filsuf ia terus tak henti menggali makna filsafat yang sejati. Yustinus Martir mempunyai salah satu kisah yang sangat terkenal. Kisah ini diceritakannya dalam karyanya dalam bab-bab pertama Dialog dengan Trypho,[5] Seorang tokoh misterius, seorang kakek yang dijumpainya di pantai laut. Kakek itu membuatnya berkecil hati dengan menunjukkan keadaanya bahwa tidak mungkin seorang manusia memuaskan hasratanya akan hal Ilahi jika mengandalkan kekuatan sendiri. Kakek itu menunjukkan kepadanya bahwa nabi-nabi zaman dulu harus didatangi untuk menemukan gagasan kepada Allah serta “filsafat yang sejati.” Kakek itu mengajarkannya supaya berdoa agar gerbang cahaya dibukakan baginya. Cerita inilah yang menentukan perjalanan kehidupan Yustinus Martir

III. BUAH PEMIKIRAN YANG MENUJU PENCERAHAN
            Yustinus dalam karya-karyanya berusaha menerangkan rencana Ilahi, penciptaan dan penyelamatan yang dilaksanakan dalam Yesus Kristus.[6] Justinus memiliki dua cara untuk menjelaskan bagaimana filsafat itu telah menemukan kebenaran. Pertama, mereka telah mempelajari Perjanjian Lama yang mana mereka pelajari, misalnya hukuman akan datang. Bahwa dalam suratnya Plato menunjukkan bahwa Plato telah belajar dari Musa dalam misteri Trinitas. Jadi Yustinus lebih dulu membuktikan tentang Trinitas Kristiani dibandingkan dengan spekulasi Platonic, karena firman Ilahi yang jelas dan karena alegori dapat ditembus hanya melalui inspirasi penulis suci. Kedua, Filsafat juga menemukan kebenaran yang terlepas dari wahyu alkitab. Kristus yang ilahi, Logos,[7] adalah alasan universal, di mana semua makhluk rasional berpartisipasi, sehingga benih-benih kebenaran ditemukan dalam semua orang yang dikaruniai akal.
Yustinus Martir mempunyai suatu ungkapan yang mencoba menjelaskan hadirnya filsafat Yunani sebagai persiapan injil, ungkapan itu adalah; “Socrates seperti Abraham, adalah seorang Kristen sebelum Kristus.”[8] Ungkapan ini mengungkapkan bahwa kehadiran Socrates yang sungguh-sungguh filsuf itu membuka gerbang hidup baru menuju filsafat sejati yang berasal dari Yesus. Ia adalah penulis yang khas dalam menyampaikan pembelaanya. Telah jelas bahwa melalui penjelasan dalam salah satu karyanya tentang cara filsafat menemukan kebenaran, merupakan kekhasan Yustinus pada konsepnya tentang rencana Ilahi dalam sejarah yang menyatukan perjanjian lama dan aspirasi tertinggi dari Yunani yang adalah jalur  besar dalam Kekristenan.
            Dalam Apologia pertama Yustinus Martir dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian. Pertama, i-iii, berisi tentang  pendahuluan kepada kaisar: tentang Justinus untuk menerangi dan membebaskan diri dari tanggung jawab tentang paham yang sekarang mereka miliki. Kedua, iv-xii, bagian pertama atau pengenalan yang berisi tentang cintanya kepada Allah dengan membiarkan diri dibunuh daripada menyangkal Allah yang diimaninya. Ketiga, xiii-lxvii, tentang penjelasan dan pengenalan Kristen. Dalam bagian ini ditampakkan keunggulan-keunggulan Kristus dalam Kristen. Salah satu yang menarik dari bagian ketiga ini adalah, bab xxiii- Argumen. Pada Bab ini dijelaskan tentang pengajaran Kritus yang sungguh-sunguh benar dan oleh para Nabi yang mendahului-Nya benar dan kebenaran ini lebih tua dari semua penulis yang ada. Secara gamblang dijelaskan pula bahwa Yesus Kristus adalah anak satu-satunya yang telah diperanakkan oleh Allah, karena Kuasa-Nya Firman dan pertama dan tunggal menjadi manusia sesuai dengan kehendak-Nya.

IV. PENUTUP
Yustinus Martir mengkritik dengan tak kenal ampun, agama kafir serta mitos-mitosnya, yang dia pandang sebagai kesesatan dari jalan kebenaran. Lahirnya filsafat justru semakin menguntungkan, dimana kekafiran Yudaisme dan Kristianitas dapat bertemu, khususnya dalam mengkritik agama kafir serta mitos – mitosnya. Dalam kenyataannya telah jelas bahwa agama kafir tidak mengikuti jalan Logos, tetapi berpegang pada mitos-mitos, meskipun filsafat Yunani mengakui bahwa mitologi sunguh sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran. Akibat logis dari kemunduran agama kafir adalah akibat dari pemisahan antara kebenaran yang nyata dan agama, yang merupakan kumpulan ibadat dan upacara buatan sendiri.
Pada zaman sekarang ini, pada hati manusia masih tertambat kerinduan untuk menyelami dan mencintai Allah secara lebih mendalam. Banyak studi bersama, kuliah umum dan seminar-seminar  yang diadakan oleh pihak tertentu untuk semakin menyelami Allah. Namun hasilnya, hanyalah suatu lembar kesimpulan yang hanya tertera pada lembaran-lembaran kertas. Ini adalah tugas kita bersama untuk semakin dapat mengenal Allah dan sesudahnya menghidupi pribadi Allah dalam kisah hidup kita. Yustinus Martir menyimpulkan dengan kata-kata yang indah bahwa keseluruhan dalam sejarah, dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang benar yang pernah dikatakan oleh siapa pun juga adalah milik kita, orang-orang Kristen.[9] Jalan yang termudah dan terbaik bagi kita telah diingatkan oleh seorang kakek tua dalam perjumpaannya dengan Yustinus, yaitu berdoalah agar gerbang cahaya dibukakan bagimu; sebab hal-hal ini tak dapat ditangkap atau dimengerti seorang pun, selain mereka yang telah diberi anugerah khusus oleh Allah.[10]
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bertens, K.  Ringkasan Sejarah Filsafat, Jakarta: Kanisius, 1976.

Heraty, Jack.  New Catholic Encyclopedia. Washington, D.C: The Catholic Of University of Amerika, 1981.

Paus Benediktus XVI. Bapa –  Bapa Gereja (judul asli: The Fathers, 2009), diterjemahkan oleh Waskito. Malang: Dioma, 2010.

Roberts, Alexander – James Donaldson (ed.). The Apostolic Father with Justin Martyr and Ireneaus. United States of America: Eerdmems Printing Company, 1981.



[1] Inggris: scholasticism; dari bahasa latin scholasticus, dari Yunani scholastikos yang berarti guru; dari scholaszein (waktu senggang). Kata ini sendiri diperoleh dari bahasa latin schola (sekolah, guru). Skolatisisme diarahkan kepada universitas, dan memang mendorong lahirnya universitas. Ada yang mematoki permulaan periode skolastik pada abad ke-7 dan memang sampai abad ke 15 semua sepakat bahwa puncak kejayaannya pada abad ke 12 dan ke 13. [Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 1028.]

[2] K, Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jakarta: Kanisius, 1976), hlm. 18.

[3] Istilah “apologet” dipakai untuk pengarang-pengarang kuno yang berusaha membela agama baru terhadap tuduhan-tuduhan berat. Para Apologet mengutamakan dua hal, hal yang penting tepat dinamakan “apologetic”, yaitu membela Kristianitas yang masih baru (apologia dalam bahasa Yunani berarti “pembelaan”) . [Lihat Paus Benediktus XVI, Bapa –  Bapa Gereja (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh Waskito (Malang: Dioma, 2010), hlm. 27.]

                [4] Jack Heraty, New Catholic Encyclopedia, (Washington, D.C: The Catholic Of University of Amerika, 1981), hlm. 94.

[5] Trypho adalah orang Ibrani sunat. Dia memilih untuk melarikan diri sewaktu perang di daerahnya. Dia banyak menghabiskan waktu di Yunani dan terutama di Korintus. [Lihat Alexander Roberts – James Donaldson (ed.), The Apostolic Father with Justin Martyr and Ireneaus, (United States of America: Eerdmems Printing Company, 1981), hlm. 195.]

[6] Paus Benediktus XVI, Bapa – Bapa ..., hlm. 29.

[7] Dari bahasa Yunani logos yang berarti ucapan; pembicaraan; pikiran; akal budi; kata; arti; studi tentang; pertimbangan tentang; ilmu pengetahuan tentang; alasan pokok mengapa suatu hal apa adanya; prinsip-pinsip dan metode-metode yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala dalam suatu disiplin tertentu; aspek-aspek di dalam suatu benda yang membuat benda itu dapat kita mengerti; dasar pemikiran tentang suatu hal. [Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 543.]

[8] Jack Heraty, New Catholic …, hlm. 94.

[9]  Alexander Roberts – James Donaldson (ed.), The Apostolic …, hlm. 192.

[10] Alexander Roberts – James Donaldson (ed.), The Apostolic …, hlm. 198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar