Mencapai
Kebebasan Manusia yang Kreatif dan Bertanggung Jawab
I.
Pengantar
Kebebasan
sesungguhnya mempunyai arti dan peranan yang prinsipil dalam kehidupan manusia.
Kebebasan tidak tergantung pada perkataan dan sikap orang lain. Manusia
mencapai kebebasan disaat dirinya dapat memutuskan sesuatu yang penting dalam
hidupnya, sesuatu yang berguna dan tanpa paksaan dari manapun. Kebebasan muncul
dari buah refleksi dan pemikirannya sendiri. Namun, masih banyak masyarakat
yang menyalahgunakan arti kebebasan demi mencapai kesenangan sendiri. Kebebasan
adalah usaha menghantarkan keutuhan diri manusia sebagai cermin kebebasan
Allah.
Bebas
sebebas-bebasnya bukanlah bagian dari kebebasan. Apalagi jika kita berbuat yang
menurut kita baik, tapi perbuatan itu sangat merugikan orang lain. Kejatuhan
manusia dalam dosa adalah bentuk kebebasan yang disalahgunakan. Manusia telah
menjauh dari sumber kebebasan Ilahi dan akhirnya kebebasan yang disalahgunakan
itu menarik manusia dalam kebebasan semu. Maka kebebasan yang sejati dapat kita
lihat dari kebebasan Allah dalam diri Yesus Kristus. Kebebasan kita terikat kepada
kebebasan Allah sang pencipta.
II.
Isi
2.1
Makna
Kebebasan
Membahas
tuntas mengenai arti kebebasan tidaklah mudah, apalagi menyangkut eksistensi
manusia dalam kebebasannya. Juga sekaligus membahas partisipasi manusia dalam
kebebasan Allah. Hal yang akan ditekankan adalah kebebasan manusia itu dalam
seluruh pergumulan hidupnya, seluruh totalitas diri manusia.
Manusia
adalah makhluk jasmani dan sekaligus rohani. Kemanusiaannya terikat pada ruang
dan waktu. Melalui tubuh, ia menghadirkan suatu ciri khas yang dimiliki seorang
manusia sebagai suatu jalan interaksi bagi dunia di sekitarnya. Tubuh ini juga
sekaligus sebagai perwujudan kebebasan manusia.
Kebebasan
dipandang sebagai cara berada. Seorang ketua lingkungan harus dapat menggunakan
kebebasan diri dalam bersikap di Gereja, tempat kerja, masyarakat, dsb. Seorang
ketua lingkungan tidak dapat menggunakan kebebasan sesuka hati tanpa
memperhatikan keadaan orang lain. Kebebasan manusia itu adalah kebebasan di dalam
situasi, yakni suatu kebebasan yang terjelma yang berada dalam dimensi keutuhan
diri manusia.[1]
Keutuhan yang dimaksud adalah fisik manusia dan relasinya dengan dunia
kehidupannya.
2.2
Kebebasan
yang Kreatif
Bagaimanapun
kebebasan dan kedamaian hanya ada dalam jiwa, atau kemerdekaan yang hanya
terletak pada perjalanan kedalaman batin manusia, tidaklah mempunyai kebebasan.
Sabda Tuhan memampukan manusia mewujudkan semangat yang tampak dalam dunia dan
mengambil jasmani dunia kepada kebebasan dari dosa.[2] Bernard
Häring menjelaskan bahwa Sabda Allah dapat menjadi sumber pencapaian kebebasan
manusia, bukan sekedar perjalanan batin manusia. Pemikiran ini
menggambarkan bahwa Allah selalu
menuntun kebebasan manusia. Kebebasan manusia yang utama adalah usaha untuk
sepenuhnya mengarah kepada bimbingan Allah sebagai wujud ketaatan ciptaan
kepada Sang Pencipta.
Kebebasan
kreatif ini mencakup segala aspek hidup manusia. Kebebasan kreatif tidak hanya
menyangkut cara menganalisa, tapi juga menyangkut pola dan watak yang terlibat
dalam upaya itu. Kebebasan yang kreatif selalu muncul dari suara hati yang
tidak dipengaruhi oleh hal-hal lain diluar dirinya. Suara hati itu sebagai
wujud dari kehendak bebas. Kebebasan ini
menyangkut eksistensi manusia. Kebebasan eksistensi manusia dapat dikaji dalam
berbagai ilmu, salah satunya dalam arti sosiologis.
Dalam
arti sosiologis, kebebasan manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial,
komunitas, tempat seorang ambil bagian, dsb. Pengalaman kebebasan itu dipengaruhi
oleh sifat dan watak seseorang.[3]
Kebebasan dalam hidup seorang manusia itu harus dijaga dan setiap manusia harus diberikan pendidikan dan
pembiasaan yang baik. Seorang anak yang hidup dalam ketakutan atas otoritas
dari orangtuanya akan merusak kebebasan seorang anak tersebut. Iklim seperti
ini tidaklah baik. Pendidikan dan pembiasaan semacam ini akan menghasilkan
pribadi yang takut mengambil suatu keputusan akan kebebasannya.
2.3
Kebebasan
Itu Bertanggung Jawab
Manusia
yang bertindak harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya itu. Seseorang
yang bertanggung jawab harus memberikan penjelasan secara otentik, sesuai
dengan kenyataan. Agar tindakan dan perkataan seseorang dapat
dipertanggungjawabkan, maka tindakan itu harus dilaksanakan dalam diri manusia
yang bebas.[4]
Orang yang bertindak bebas secara kreatif, harus mampu mempertanggungjawabkan
secara kreatif pula.
Bernard
Häring menjelaskan sikap bertangung jawab dengan bercermin pada kesetiaan
Allah. Kesetiaan Kristus membuat kita menjadi bebas, mengharuskan kita untuk
tidak membatasi pada bidang kebebasan apapun kecuali kebebasan dalam dirinya.[5]
Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh terikat pada kebebasan apapun, kecuali
dalam dirinya sendiri, karena dalam dirinya terkandung karya kebebasan Allah
dalam kesetiaan-Nya.
Manusia
diciptakan secitra dengan Allah (Kej.
1:26-27),
dan diperintahkan untuk menguasai dan memelihara bumi. Dengan demikian, manusia
menjadi partner Allah dalam penciptaan dunia. Maka manusia harus mampu
mempertanggungjawabkan segala kuasa yang diberikan Allah padanya, dengan kata
lain tanggung jawab itu adalah relasi personal antara Allah dan manusia. Makna
dari tanggung jawab yang terdalam dalam diri manusia adalah secara bebas
mempercayakan seutuhnya kepada Tuhan. Pengalaman penyerahan diri pada Allah ini
menyangkut seluruh eksistensi manusia.
III.
Penutup
Kebebasan
yang kreatif harus diimbangi dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Kiranya ini
menjadi suatu kesatuan yang penting. Kebebasan itu tidak akan menjadi kreatif
jika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Kita bertanggung jawab
atas segala konsekuensi dari setiap keputusan dan tindakan yang kita lakukan. Hendaknya kita berhati-hati dalam menentukan
setiap keputusan serta akibatnya bagi orang lain.
Maka
kesatuan atas kebebasan yang kreatif dan kebebasan yang bertanggungjawab
mengandung suatu unsur keterbukaan total atas rahmat Allah. Manusia harus
senantiasa menyadari rahmat Allah, dengan cara terus menerus memurnikan hati,
mewujudkan keikhlasan diri demi tercapainya suatu kebebasan yang murni, dan
mencapai suatu motivasi kebebasan yang bertanggung jawab dan kreatif.
Daftar Pustaka
Chang, William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Häring,
Bernard. Free and Faithful in Christ –
Moral Theology for Priests and Laity – vol 1. Philippines: Claretian
Publication, 1985.
Sujoko,
Albertus. Belajar Menjadi Manusia – Berteologi
menurut Bernard Häring, CSsR. Yogyakarta: Kanisius, 20008.
[1] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 58.
[2] Bernard Häring, Free and Faithful in Christ – Moral Theology
for Priests and Laity – volume 1 (Philippines: Claretian Publication, 1985),
hlm. 151.
[3] Albertus Sujoko, Belajar Menjadi Manusia-Berteologi menurut
Bernard Häring, CSsR (Yogyakarta: Kanisius, 20008), hlm 91.
[4]
William Chang, Pengantar Teologi …, hlm. 58.
[5]
Bernard Häring, Free and Faithful …, hlm.75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar